Beberapa waktu yang lalu, koalisi organisasi penyandang disabilitas mengkritik sejumlah pasal dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP) yang dinilai tidak berjalan transparan dan inklusif, khususnya bagi penyandang disabilitas.
Beberapa pasal di dalam RKUHP yang menyebut kata disabilitas nyatanya tidak pernah melibatkan organisasi penyandang disabilitas sehingga RKUHP tersebut berpotensi menimbulkan stigma bagi penyandang disabilitas dan menyebabkan ketidakadilan.
Pembahasan RKUHP yang masih minim partisipasi dari penyandang disabilitas, nyatanya masih jauh dari dari konsep ideal partisipasi yang bermakna dalam suatu proses legislasi. Sehingga menyebabkan organisasi kelompok penyandang disabilitas secara mandiri menyampaikan aspirasinya tanpa ada fasilitas dari pemerintah maupun DPR.
Baca Juga:
- Resah, Akademisi Lintas Kampus Bersatu Gelar Konsultasi RKUHP 2022
- PSHK Desak Pemerintah Buka Draf RKUHP Terbaru!
- Babak Baru, Begini Penjelasan 14 Isu Krusial RKUHP
Selain tidak adanya melibatkan penyandang disabilitas dalam proses pembentukan RKUHP, terdapat persoalan lain yaitu dalam substansi norma RKUHP tersebut. Substansi RKUHP dinilai tidak sensitif terhadap kebutuhan dan realitas penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum, sehingga cenderung memperkuat potensi diskriminasi dan mempertajam stigma di dalam masyarakat.
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Fajri Nursyamsi, mengemukakan pendapatnya mengenai isu penyandang disabilitas di dalam RKUHP yang kurang menjadi perhatian publik.
“Beberapa bulan terakhir, isu RKUHP yang muncul kebanyakan di isu yang bukan isu disabilitas dan tidak banyak di highlight. Ini menjadi penting lantaran banyak hal mendasar di hukum pidana secara materiil dipertimbangkannya terkait penyandang disabilitas,” ujarnya dalam sesi diskusi yang diadakan pada Kamis, (18/7).