6 Catatan Koalisi Masyarakat Sipil di Hari Kehakiman
Berita

6 Catatan Koalisi Masyarakat Sipil di Hari Kehakiman

Diantaranya, MA dan KY perlu pengawasan yang sistematis dan sinergis terhadap kinerja, integritas, dan perilaku hakim; MA perlu mengevaluasi pelaksanaan sidang secara daring; MA patut memerintahkan hakim menghentikan penjatuhan hukuman pidana mati; Pemerintah dan DPR memasukan prinsip exclusionary rules dan instrumen HAM lainnya dalam rancangan dan DIM revisi KUHAP.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

Hakim merupakan profesi penting sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dan bertanggung jawab menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD RI 1945. Sebagai pelaku cabang kekuasaan negara dalam bidang yudisial, hakim bertanggung jawab memastikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.

Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, mengatakan dalam rangka memperingati hari Kehakiman Nasional pada 1 Maret, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Jakarta dan LBH Masyarakat menyampaikan 6 catatan kepada hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Pertama, hakim terlibat praktik judicial corruption. Melansir catatan ICW, Arif menjelaskan sedikitnya ada 6 hakim tersangkut korupsi sejak 2012-2019. Puluhan hakim yang terjerat itu, ironisnya sedang menangani perkara korupsi.

Misalnya, dalam kasus Advokat Arif Fitrawan yang menyuap hakim PN Jakarta Selatan saat melakukan pendampingan kasus perdata. Selanjutnya, kasus mantan sekretaris MA, Nurhadi, dimana kasusnya menunjukkan sistem pemeriksaan peradilan yang korup telah terjadi sejak pemeriksaan di tingkat PN sampai MA.

Kedua, hakim kerap mengabaikan fakta persidangan. Arif menilai hakim gagal menciptakan putusan yang berkeadilan karena sering mengabaikan fakta persidangan. Misalnya dalam perkara bernomor 279/Pid.Sus/2021/PN JKT.SEL, hakim dinilai mengabaikan kondisi retardasi (perlambatan) mental terdakwa, terkonfirmasi oleh ahli psikologi forensik yang dihadirkan di persidangan. Bahkan terdakwa tidak memahami kondisinya yang sedang diperiksa (persidangan melalui daring) oleh majelis hakim.

Ketiga, hakim masih menjatuhkan pidana mati. Mengutip laporan ICJR periode Oktober 2018-Oktober 2019, Arif menyebut ada 80 orang dituntut pidana mati dan 65 diantaranya diputus pidana mati di pengadilan tingkat pertama. Laporan Kejaksaan Agung menyebut lebih dari 200 terpidana mati belum dieksekusi. Bahkan, Arif melihat penjatuhan hukuman mati juga terjadi di masa pandemi Covid-19. Padahal, tren penjatuhan hukuman pidana mati ini tidak sejalan dengan penurunan tingkat kejahatan/tindak pidana.

“Artinya hukuman mati tidak menimbulkan efek jera, (justru, red) melanggengkan pelanggaran HAM, dan membiarkan negara melakukan penyiksaan yang kejam serta tidak bermartabat,” kata Arif Maulana ketika dikonfirmasi, Selasa (2/3/2021).

Keempat, hakim menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan tidak sah (penyiksaan) dan permasalahan praperadilan (upaya paksa dan ganti kerugian). Arif mencatat kasus vandalisme di Tangerang tahun 2020 dimana 2 terdakwa anak mengaku mendapatkan penyiksaan saat proses penyidikan di Kepolisian Resort Tangerang. Sayangnya, hakim mengabaikan fakta penyiksaan itu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait