6 Catatan KontraS Terhadap 3 Tahun Kinerja Jokowi-Ma’ruf Amin
Terbaru

6 Catatan KontraS Terhadap 3 Tahun Kinerja Jokowi-Ma’ruf Amin

Mulai dari penyelesaian pelanggaran HAM berat; reformasi Polri; penyempitan ruang kebebasan sipil; ambruknya demokrasi; kekerasan di Papua; investasi dibarengi pengerahan kekuatan aparat; dan rendahnya komitmen internasional.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti. Foto: ADY
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti. Foto: ADY

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah genap 3 tahun. Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, mengatakan lembaganya sedikitnya mengantongi 6 catatan terkait kinerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf selama 3 tahun ini. Pertama, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, dimana pemerintah mencoba mengarahkannya pada pemutihan tanggung jawab pelaku dan mengabaikan pemulihan korban.

Fatia mengingatkan janji kampanye Jokowi-Ma’ruf 2019 silam akan melanjutkan penyelesaian yang berkeadilan terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Tapi janji itu hanya lip service lanjutan sejak periode pertama kepemimpinan Jokowi. “Dalam setahun belakangan begitu banyak langkah kontraproduktif yang ditempuh seperti halnya penyelenggaraan sidang pengadilan HAM Paniai yang berjalan buruk. Begitupun langkah lainnya seperti pengangkatan penjahat kemanusiaan menjadi Panglima Kodam Jaya,” kata Fatia Maulidiyanti ketika dikonfirmasi, Senin (24/10/2022).

Kebijakan yang diambil pemerintah selama setahun terakhir merupakan preseden buruk bagi penghormatan HAM, reformasi sektor keamanan, dan penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM berat. Begitu pula terbitnya Keputusan Presiden No.17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang bermasalah sejak awal dan berupaya memecah belah kelompok korban lewat bantuan materil.

Kedua, Presiden Jokowi pernah berjanji untuk melakukan reformasi Polri demi meningkatkan kepercayaan publik. Tapi sebagaimana diketahui bersama kinerja kepolisian menimbulkan keresahan bagi masyarakat, sehingga terbukti janji tersebut belum dapat terwujud. Sampai sekarang pemerintah tak kunjung menuntaskan reformasi Polri. Padahal jelas dalam banyak kasus tindakan kekerasan yang dilakukan anggota Polri sangat merugikan masyarakat.

“Anggota di lapangan kerap melakukan pelanggaran, seperti penggunaan senjata api dan salah tangkap. Sayangnya perbaikan hanya menyoroti citra semata, bukan kinerja. Keresahan masyarakat harus dijawab lewat perbaikan struktural di tubuh Polri dalam kerangka reformasi Polri,” harap Fatia.

Ketiga, Fatia mencatat 3 tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf terjadi penyempitan ruang kebebasan masyarakat sipil. Hal itu dapat dilihat dari penggunaan UU ITE sampai kriminalisasi yang dilakukan pejabat negara. Presiden Jokowi seolah merestui situasi yang terus memburuk. Represi terus terjadi baik di ranah publik dan digital, bahkan aktornya tak hanya berasal dari aparat.

Serangan dan kriminalisasi terhadap pembela HAM terus terjadi. Fatia juga menilai Jokowi membiarkan berkembangnya wacana 3 periode dan perpanjangan masa jabatan dengan berlindung di balik dalih demokrasi. Proses pemilihan kepala daerah yang harusnya dilakukan secara demokratis, tapi malah berlangsung secara sewenang-wenang. Penyusunan regulasi juga dilakukan serampangan dengan mengabaikan partisipasi bermakna.

Tags:

Berita Terkait