7 Hal yang Sering Menyeret Notaris ke Pusaran Kasus
Utama

7 Hal yang Sering Menyeret Notaris ke Pusaran Kasus

Agar notaris tak sering terseret perkara pidana, peran Majelis Pengawas Notaris harus dimaksimalkan. Polisi berikan sejumlah rekomendasi.

Oleh:
FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Tidak ada profesi yang kebal hukum, sekalipun penyandang profesi itu berlabel penegak hukum. Hakim, advokat, jaksa, tetap bisa dijerat melakukan tindak pidana jika unsur-unsur pidananya terpenuhi. Prinsip yang sama berlaku untuk notaris.

Selama ini notaris memang jarang menjadi pesakitan. Jarang dibanding mereka yang dipanggil sebagai saksi atau menjadi pihak dalam suatu perkara. Bukan berarti tak ada notaris yang pernah ditetapkan sebagai tersangka atau didakwa di pengadilan.

Kasubbid Bankum Bidang Hukum Polda Jabar, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Yanuar Prayoga, menjelaskan di wilayah Polda Jawa Barat masih jarang notaris jadi tersangka. Kalaupun ada bukan karena niat jahat pribadi, melainkan terseret pihak-pihak yang berperkara.

“Hampir tidak ada notaris yang jadi tersangka. Tetapi ada juga yang jadi tersangka, tapi bukan karena ada niat jahat, cuma terseret oleh pihak-pihak dalam perjanjian,” kata Yanuar dalam ‘Seminar Pilar Penegakan Hukum Terhadap Notaris Berkaitan dengan Aspek Pidana, Perdata, Perpajakan dalam Pelaksanaan Jabatan Notaris’, di Bogor, Senin (09/5).

Berdasarkan pengalaman dan pengamatannya sebagai polisi, Yanuar melihat ada tujuh hal berkaitan dengan produk notaris yang sering berujung ke kepolisian.

Pertama, akta dibuat dengan kondisi para pihak tidak berhadapan. Notaris membuat akta padahal ia tahu para pihak tidak saling berhadapan atau tidak ada di tempat. Salah satu atau kedua pihak tidak hadir saat akta dibuat. Pihak yang dirugikan biasanya melaporkan notaris.

Kedua, data identitas dari salah satu pihak dalam akta dianggap tidak benar, atau dianggap memberikan keterangan palsu. Permasalahan ini, kata Yanuar, kerap dijadikan senjata oleh para pihak untuk memperkarakan sebuah Akta. Pengaduan ke pihak Kepolisian biasanya dilakukan setelah perjanjian antara kedua belah pihak tidak terselesaikan, atau ada yang ingkar janji. “Salah satu pihak berusaha mencari celah untuk mempidanakan dan memang faktanya ketemu. Sebenarnya tidak ada yang rugi, cuma memang terkadang ada alamat yang tidak benar. Sehingga di sini perlunya minuta dan dokumen lainnya,” jelas Yanuar.

Ketiga, data mengenai obyek yang diperjanjikan tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Sehingga salah satu pihak dianggap memberikan keterangan palsu. Notaris terseret selaku pihak yang membuat akta perjanjian.

Keempat, data yang diberikan oleh salah satu atau kedua pihak tidak benar, sehingga akta notaris yang diterbitkan dianggap akta palsu. Jerat yang biasa dipakai adalah memasukkan data palsu ke dalam akta otentik atau memalsukan dokumen.

Kelima, ada dua akta yang beredar di para pihak, yang nomor dan tanggalnya sama tetapi isinya berbeda. “Ini sering terjadi, nomor, tanggal, dan judul sama, tetapi di akta yang satu cuma ada satu penghadap, dan akta satu lagi ada dua penghadap. Dua akta ini beredar, oleh pihak yang bersengketa ini dipermasalahkan. Kejadian ini sering terjadi misalnya perebutan saham,” ungkapnya.

Keenam, tanda tangan salah satu pihak yang ada dalam minuta dipalsukan. Ini bisa terjadi karena pembuatan akta dikejar-kejar waktu, dan salah satu pihak tidak berada di tempat. Mungkin juga ada kesengajaan untuk memalsukan tanda tangan.

Ketujuh, penghadap menggunakan identitas orang lain. Notaris belum tentu mengenal secara pribadi orang yang datang menghadap. Notaris tidak dalam posisi menelusuri jejak rekam seseorang, apalagi untuk sampai memastikan identitas dalam dokumen identitas resmi penghadap benar atau palsu.

Yanuar meminta para notaris berhati-hati menjalankan tugas. Polisi merekomendasikan, pertama, agar dalam pembuatan produk notaris agar benar-benar mempedomani prosedur yang ditentukan peraturan perundang-undangan, jika perlu membuat SOP untuk pedoman staf.

Rekomendasi kedua, polisi berharap notaris meneliti secara saksama data, dokumen/surat yang digunakan sebagai persyaratan atau data penerbitan produk notaris. Bila perlu, memindai (scan) seluruh data sehingga lebih jelas. Ketiga, notaris perlu memastikan para pihak harus hadir berhadapan, dan sebelum akta ditandatangani notaris membacakan isinya kepada para pihak disertai penjelasan, dilakukan pendokumentasian seperti mengambil foto, untuk memperkuat apabila ada komplain di kemudian hari.

Rekomendasi lain, keempat, tertib dalam pengelolaan dokumen. Yanuar mengingatkan jangan sampai produk notaris yang belum jadi tetapi sudah deregister dan ditandatangani, bahkan sudah beredar kepada para pihak.

Dosen Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Pieter Latumeten, menambahkan notaris yang terjerat perkara pidana menuntut tugas Majelis Pengawas Notaris untuk melakukan pembinaan dan pengawasan sebagai notaris. Meski terbilang sedikit, perkara yang menyeret notaris mayoritas terkait profesionalitas.

“Ada yang sudah menjalani hukuman, meskipun tidak banyak. Majelis Kehormatan Notaris berkaitan penegakan hukum, tapi bukan untuk melindungi, hanya memberikan perlindungan martabat. Kebanyakan terkait profesionalitas (perkara),” kata Pieter.

Menurut Pieter, uji kompetensi bagi calon notaris menjadi salah satu kuncinya. Setelah lulus harusnya ada uji kompetensi. Sertifikat kompentensi bisa dijadikan syarat utuk bisa diangkat atau tidak sebagai notaris.  “Ini domain organisasi,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait