7 Kritik Kiara untuk Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja
Berita

7 Kritik Kiara untuk Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja

Kebijakan omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja potensial semakin mengancam ruang hidup masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil serta tingkat kesejahteraan nelayan kecil/tradisional karena memberi keistimewaan bagi para nelayan skala besar dan investor/pemodal besar.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Kelima, impor ikan dan garam semakin masif masuk Indonesia. Menurut Susan, Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang melimpah, tapi faktanya impor ikan dari China sangat besar. Melansir data Trademap, Susan menyebut impor komoditas perikanan Indonesia dari China nilainya mencapai 71,6 juta dollar AS atau setara Rp1 triliun.

 

Kiara mencatat China memasok 41 persen kebutuhan ikan beku dan 49 persen kebutuhan moluska di Indonesia. Untuk garam tercatat Indonesia mengimpor 2,75 juta ton tahun 2019 dan tahun 2020 pemerintah berencana mengimpor 2,92 juta ton. “Ini makin memuluskan kedua komoditas impor itu masuk Indonesia.”

 

Keenam, masyarakat pesisir akan diwajibkan mengantongi izin untuk memanfaatkan sumber daya kelautan, perikanan, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Baginya, kebijakan omnibus law menyamakan masyarakat dengan entitas bisnis yang akan menyelenggarakan aktivitas bisnis atau usaha di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini bakal mempersulit kehidupan masyarakat pesisir dan pulau kecil untuk mengakses laut dan memanfaatkan sumber daya alamnya sendiri. Bahkan Susah melihat masyarakat pesisir dan pulau kecil bakal terampas ruang hidupnya. “Mereka akan menjadi ‘tamu’ di tanah dan airnya (sendiri, red) yang selama ini menjadi tempat hidup dan mencari nafkah,” ujarnya.

 

Ketujuh, omnibus law RUU Cilaka akan memperkuat posisi tata ruang laut sebagaimana diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Kiara mencatat sampai pertengahan 2019 terdapat 22 provinsi yang sudah merampungkan pembahasan Perda Zonasi. Menurut Susan, Perda Zonasi ini mandat UU No.1 Tahun 2014 yang merupakan revisi UU No.27 Tahun 2007.

 

Dari 22 Perda Zonasi itu masyarakat pesisir dan pulau kecil tidak mendapat porsi yang memadai. Berbeda dengan proyek pembangunan dan industri yang mendapat porsi besar dalam Perda Zonasi. Akibat minimnya ruang yang diperuntukan bagi masyarakat pesisir dan pulau kecil dalam Perda Zonasi, nelayan sulit mengakses laut karena di kawasan itu terdapat proyek reklamasi, pertambangan, pariwisata, atau PLTU.

 

Susan menegaskan organisasinya sejak awal menolak Perda Zonasi karena tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan termasuk tidak dilibatkan sejak perencanaan. Masyarakat pesisir hanya mendapat ruang yang kecil dalam zonasi. Dia menilai penyusunan Perda Zonasi mengakomodasi dan memberi kepastian hukum hanya untuk kepentingan bisnis, bukan masyarakat pesisir. “Perda Zonasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan ekosistem laut,” katanya.

 

Sebelumnya, sekitar 40 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) menolak program pemerintah menerbitkan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka). Mereka diantaranya LBH Jakarta, YLBHI, ICW, Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)Konfederasi Serikat Nasional (KSN), ICEL, Walhi, Jatam, Green Peace, AMAN, LBH Pers, Solidaritas Perempuan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia, Huma, Indonesia for Global Justice (IGJ).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait