7 Perjanjian Perdagangan Internasional Ini akan Diratifikasi Indonesia
Berita

7 Perjanjian Perdagangan Internasional Ini akan Diratifikasi Indonesia

Dikritik karena alasan dan proses ratifikasi cenderung bersifat tertutup dan tidak transparan.

Oleh:
Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit

Potensi kerugian dalam AFAS 9 adalah Indonesia tidak dapat mengakses pasar jasa ASEAN pada subsektor yang ditambahkan negara-Negara ASEAN ke dalam AFAS (Indonesia menambahkan 11 subsektor). Selain itu, juga berpotensi disengketakan oleh anggota ASEAN lain yang memiliki kepentingan komersial. Sementara untuk perjanjian AMDD, jika Indonesia tidak meratifikasinya, maka produk ALKES Indonesia sulit dipasarkan di ASEAN dan dunia karena AMDD mengatur standar, aturan teknis dan prosedur kesesuaian penilaian yang mengharmonisasikan standar ALKES di ASEAN sesuai standar internasional.

Selain itu, Indonesia dapat dikatakan tidak mendukung Instruksi Presiden (Inpres) No. 6 Tahun 2016 tentang Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Potensi kehilangan pasar ekspor ke ASEAN senilai AS$853 juta pada tahun 2017.

Ada juga potensi kerugian jika Indonesia tidak meratifikasi perjanjian ACFTA. Dari sisi barang-barang (goods), Indonesia dapat disengketakan karena tidak mempermudah ketentuan SKA, prosedur kepabeanan dan fasilitasi perdagangan sesuai kesepakatan. Dari sisi Services Indonesia tidak menikmati penambahan komitmen lima subsektor jasa oleh China (medical & dental; engineering; travel agency & tour operator; nature dan landscape protection; dan securities). Dari sisi investasi, sikap Indonesia akan mengurangi insentif investor China untuk berinvestasi karena Indonesia tidakmenyederhanakan prosedur aplikasi dan persetujuan investasi, dan tidak dapat berpartisipasi dalamprogram promosi investasi ACFTA.

(Baca juga: Kemlu Usulkan Mekanisme Judicial Review untuk Ratifikasi Perjanjian Internasional).

Terakhir, jika Indonesia tidak meratifikasi IP-PTA, beberapa potensi kerugian muncul. Pakistan akan membatalkan PTA sehingga Indonesia akan kehilangan pangsa pasar crude palm oil (CPO) senilai AS$1,46 miliar (2017) di Pakistan. Pangsa pasar CPO akan direbut Malaysia yang saat ini sedang memperbarui perjanjian bilateral dengan Pakistan.SIkap Indonesia juga dapat menghambat rencana bersama untuk memperbarui IP-PTA menjadi IP-Trade in Goods Agreement. Dalam berbagai skenario persetujuan (PTA, TIGA, FTA atau CEPA), Pakistan tidak mungkin menikmati surplus neraca perdagangan dengan Indonesia. Total perdagangan dengan Pakistan 2017 sebesar AS$2,63 miliar, ekspor AS$2,39 miliar; impor AS$241,1 juta; surplus bagi Indonesia AS$2,15 miliar.

Dikritik

Rencana pemerintah yang akan melakukan ratifikasi terhadap 7 perjanjian perdagangan internasional mendapatkan kritik dari Rahmi Hertanti. Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) ini menilai pemerintah tidak pernah membuka isi ratifikasi ke ruang publik. Proses ratifikasi yang dilakukan pemerintah terlalu ekslusif, padahal ratifikasi tersebut jelas akan berdampak kepada masyarakat secara luas. Masyarakat tidak mengetahui apa isi perjanjian yang akan diratifikasi.

Bagaimana mungkin masyarakat dapat merespons kalau masyarakat tidak tahu apa isi perjanjian. “Isi perjanjian itu sangat tertutup, tidak ada teks yang dibuka kepada publik sehingga publik itu secara bebas memberikan masukan ataupun memberikan respons terhadap perjanjian yang mau diratifikasi,” kata Rahmi kepada hukumonline, Jumat (9/11).

Rahmi mencontohkan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Saat pemerintah menyepakati bergabung dalam MEA, publik tidak dilibatkan. Selain itu, saat ASEAN menyusun kerangka jalan terbaru terkait ASEAN 2050, ASEAN menegaskan pentingnya penyusunan roadmap yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Rahmi mengatakan orietasi itu tak berjalan di dalam negeri. “Stakeholders tidak dilibatkan dalam prosesnya. Artinya secara formal kita punya mekanismenya, tapi apakah mekanismenya sudah dibuka secara umum, setiap orang bisa melakukan intervensi? ‘Kan tidak”.

Perjanjian yang akan diratifikasi Indonesia, lanjutnya, jauh dari prinsip people-oriented, karena bersifat tertutup, rahasia, dan tidak transparan. Proses ini selalu terjadi tiap Indonesia melakukan ratifikasi suatu perjanjian internasional. Karena itu, Rahmi berharap pemerintah dapat membuka kepada publik isi ratifikasi perjanjian internasional. Pemerintah harus memberikan ruang dan waktu kepada publik untuk mempelajari isi ratifikasi secara fair. Gunanya, sebagai penilaian apakah ratifikasi tersebut menguntungkan Indonesia atau sebaliknya. Apalagi melakukan sebuah review terhadap ratifikasi perjanjian internasional bukanlah perkara mudah.

Selain itu, pemerintah perlu mengubah pendekatan yang digunakan dalam perjanjian internasional dan investasi. Rahmi menilai selama ini pemerintah menggunakan pendekatan kuantitatif terkait perjanjian internasional, dan hanya berbicara mengenai ekspor impor. Padahal, lanjutnya, aspek dalam perjanjian internasional lebih komprehensif karena perjanjian internasional tersebut akan masuk ke ruang-ruang sosial bahkan berpotensi melanggar hak asasi manusia.

Tags:

Berita Terkait