8 Catatan PSHK untuk Penyelenggaraan Pemilu 2024
Utama

8 Catatan PSHK untuk Penyelenggaraan Pemilu 2024

Terbitnya Perppu No.1 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinilai tidak mengakomodir banyak perbaikan untuk penyelenggaraan Pemilu 2024. Seharusnya, melakukan revisi UU Pemilu.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Peneliti PSHK Muhammad Nur Ramadhan (kanan atas) saat diskusi bertema 'Merawat Asa Masyarakat Sipil Mendorong Penataan Pemilu', Selasa (13/12/2022). Foto: ADY
Peneliti PSHK Muhammad Nur Ramadhan (kanan atas) saat diskusi bertema 'Merawat Asa Masyarakat Sipil Mendorong Penataan Pemilu', Selasa (13/12/2022). Foto: ADY

Persiapan penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2024 terus berjalan. Salah satu yang disiapkan terkait regulasi. Presiden Joko Widodo pun telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No.1 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Muhammad Nur Ramadhan menilai Perppu yang diterbitkan 12 Desember 2022 itu secara umum tidak mengakomodir banyak perbaikan untuk penyelenggaraan Pemilu 2024. Nur mencatat sedikitnya ada 8 hal yang perlu dicermati dalam menyelenggarakan Pemilu tahun 2024.

Pertama, pemenuhan hak memilih terutama untuk kelompok masyarakat penyandang disabilitas, masyarakat hukum adat, pekerja pabrik, dan buruh migran. Pengalaman Pemilu 2019 menunjukkan berbagai kelompok rentan itu masih mengalami kesulitan untuk melaksanakan hak memilih.

“Ada panti yang menghalangi disabilitas mental untuk memilih, begitu juga pekerja di pabrik dan buruh migran,” kata Muhammad Nur Ramadhan dalam diskusi bertema “Merawat Asa Masyarakat Sipil Mendorong Penataan Pemilu”, Selasa (13/12/2022).

Baca Juga:

Kedua, keterwakilan perempuan seperti pencalonan calon anggota legislatif dan rekrutmen penyelenggara pemilu. Ketiga, transparansi laporan dana kampanye dan pembiayaan pemilu dimana ketentuan yang diatur dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu sangat rentan dan perlu dibenahi. Misalnya, masyarakat sulit mengakses data terkait siapa saja pihak yang memberikan dana kampanye terhadap para calon dan partai politik.

Keempat, pengaturan kampanye di media sosial. Nur mengatakan pengaturan yang ada dalam UU No.7 Tahun 2017 sangat minim. Dampaknya bisa dilihat dalam pelaksanaan Pemilu 2019 dimana marak disinformasi terkait penyelenggaraan pemilu. Karena itu, ke depan penting untuk dipikirkan lagi formula yang tepat untuk kampanye di ranah media sosial.

Tags:

Berita Terkait