8 Catatan YLBHI Atas Kekacauan Langkah Hukum Penanganan Covid-19
Utama

8 Catatan YLBHI Atas Kekacauan Langkah Hukum Penanganan Covid-19

Meliputi keterbukaan informasi secara realtime; menjawab darurat kesehatan dengan darurat sipil; lambannya penetapan karantina wilayah; saling lempar tanggung jawab; tim penanganan Covid-19 lebih fokus di bidang ekonomi; tidak tegasnya kebijakan mudik; membiarkan kebijakan Kapolri yang represif; dan tidak ada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat sebagaimana mandat UU.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Keenam, kebijakan mudik yang tidak tegas. Isnur mencatat 27 Maret 2020 Menkopolhukam Mahfud MD, mengatakan sedang menyiapkan kebijakan larangan mudik. Kemudian 30 Maret 2020, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan larangan mudik berbentuk Perpres dan Inpres. Selanjutnya, 2 April 2020 Presiden dalam rapat terbatas menyatakan tidak ada larangan mudik resmi, tapi pemudik akan berstatus orang dalam pemantauan (ODP). Pemudik juga wajib isolasi mandiri selama 14 hari dengan diawasi pemerintah daerah masing-masing.

Berikutnya pada 3 April 2020 Menko Kemaritiman dan Investasi sekaligus Menhub Ad Interim, Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan tidak ada larangan mudik, tapi mengimbau masyarakat tidak perlu mudik. Pada 6 April 2020, Juru Bicara Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto meminta warga tidak mudik dan itu bagian dari PSBB. Lalu, 7 April 2020 terbit SE MENPAN-RB No.41 Tahun 2020 tentang Larangn Mudik untuk ASN dan Keluarganya.

Ketujuh, membiarkan terbitnya kebijakan Kapolri yang tidak sesuai hukum dan represif. Kapolri memerintahkan anggotanya mengambil langkah tegas terhadap orang yang dikategorikan menyebar hoax dan menghina Presiden. Padahal penghinaan Presiden sudah dinyatakan bersifat aduan. Kriteria hoax yang dimaksud juga tidak jelas karena pejabat publik banyak yang mengeluarkan pernyataan tidak benar, tapi tidak pernah dilakukan tindakan.

“Kebijakan ini menimbulkan diskriminasi dan kriminalisasi yang tidak pada tempatnya,” ujar Isnur.

Kedelapan, tidak ada pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana mandat UU. Isnur menyebut Pasal 16 ayat (2) UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengatur setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar. Pasal 48 menyatakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi pemenuhan kebutuhan dasar. Pasal 55 UU No.6 Tahun 2018 menyebut pada saat darurat kesehatan masyarakat dan dilakukan karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak merupakan tanggung jawab pemerintah pusat.

Inisiator Platform Lapor Covid-19, Irma Hidayana, menilai pemerintah seolah tidak menjadikan konstitusi, UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU No.6 Tahun 2018 sebagai acuan dalam menangani Covid-19. Pemerintah malah membantah fakta di lapangan yang menunjukkan banyak orang yang terpapar Covid-19 meninggal dunia dan RS kewalahan.

“Pemerintah harus mengakui kondisi karut marut (penanganan Covid-19, red) ini dan mengakhiri komunikasi pencitraan yang seolah semua baik-baik saja,” ujarnya.

Irma mengatakan situasi yang terjadi saat ini dimana jumlah orang terpapar Covid-19 semakin banyak dan RS kewalahan adalah hasil penanganan pandemi yang selama lebih dari setahun ini tidak berhasil. Dia mengajak masyarakat untuk mendorong pemerintah agar lebih bertanggung jawab dalam memenuhi hak-hak warga negara terutama hak atas kesehatan masyarakat yang dijamin konstitusi.

Tags:

Berita Terkait