9 Alasan Penerapan Keadilan Restoratif
Utama

9 Alasan Penerapan Keadilan Restoratif

Mulai telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf hingga masyarakat merespons positif.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Anggota merangkap Sekretaris Komisi Kejaksaan RI Bambang Widarto dalam diskusi bertema 'Restorative Justice dan Dampak Terhadap Bisnis', Selasa (27/9/2022). Foto: ADY
Anggota merangkap Sekretaris Komisi Kejaksaan RI Bambang Widarto dalam diskusi bertema 'Restorative Justice dan Dampak Terhadap Bisnis', Selasa (27/9/2022). Foto: ADY

Selama ini penerapan praktik restorative justice atau keadilan restoratif dalam menyelesaikan perkara hukum pidana telah diatur dalam berbagai peraturan, salah satunya Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Komisioner merangkap Sekretaris Komisi Kejaksaan RI Periode 2019-2023, Bambang Widarto, mengatakan beleid itu merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Komisi Kejaksaan RI Kepada Jaksa Agung tertanggal 17 Januari 2020 lalu.

Rekomendasi Komisi Kejaksaan itu intinya merekomendasikan jaksa agung mengoptimalkan penerapan kewenangan sesuai asas dominus litis, mengedepankan prinsip restorative justice, dan penggunaan prinsip hati nurani dalam menangani perkara. Dasar hukum yang digunakan kejaksaan dalam melaksanakan keadilan restoratif antara lain Pasal 139 KUHAP dimana penuntut umum dapat menentukan apakah berkas perkara yang diserahkan penyidik sudah memenuhi syarat untuk dapat dilimpahkan ke pengadilan.

Undang-Undang No.11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI juga mengatur jaksa untuk bertindak berdasarkan hukum dan hati nurani dengan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan serta wajib menggali dan menjunjung tingggi nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat. Serta menjaga kehormatan dan martabat profesinya. Pasal 30C huruf d UU Kejaksaan juga mengatur tugas dan wewenang kejaksaan antara lain melakukan mediasi penal, melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan pidana pengganti serta restitusi.

“Penerapan restorative justice banyak dilatarbelakangi berbagai penanganan perkara dimana aparat penegak hukum dinilai tidak humanis,” kata Bambang dalam diskusi bertema “Restorative Justice dan Dampak Terhadap Bisnis”, Selasa (27/9/2022).

Baca Juga:

Bambang menjelaskan setidaknya ada 9 alasan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Pertama, telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf. Kedua, tersangka belum pernah dihukum. Ketiga, tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana. Keempat, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun. Kelima, tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.

Keenam, proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi. Ketujuh, tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar. Delapan, pertimbangan sosiaologis. Sembilan, masyarakat merespons positif.

Sejak Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 diterbitkan 21 Juli 2020 sampai 13 Juli 2022 Jampidum telah menyetujui sekitar 1.340 penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Bambang mencatat 1-22 September 2022 terhitung ada 64 penghentian penuntutan berdasarrkan keadilan restoratif. Misalnya, dalam perkara penganiayaan, pencurian, penadahan, KDRT, lalu lintas jalan, pengancaman, perlindungan anak, penggelapan dan penipuan.

Menurutnya, keadilan restoratif merupakan terobosan dalam penegakan hukum karena mengubah paradigma hukum dari bersifat keadilan retributif menjadi keadilan restoratif atau pemulihan. Selain sebagai terobosan dalam penegakan hukum, keadilan restoratif juga dapat membantu mengurangi persoalan kelebihan kapasitas (over capacity) lapas dan rutan.

Mengacu data Kementerian Hukum dan HAM, Bambang menghitung per Juni 2022 lapas dengan kapasitas normal 132.107 orang tahanan dihuni lebih dari 278 ribu tahanan. “Tingkat kepadatan lapas mencapai 211 persen. Penyelesaian perkara dengan mekanisme keadilan restoratif diharapkan bisa mengurangi masalah over capacity rutan dan lapas,” harapnya.

Editor in Chief Hukumonline, Fathan Qorib mengatakan masing-masing lembaga penegak hukum memiliki aturan tentang pelaksanaan keadilan restoratif. Misalnya kepolisian telah memiliki SE Kapolri No.SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana dan Perkap No.6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Kemudian Perpol No.8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Kejaksaan dalam menjalankan mekanisme penerapan keadilan restoratif mengacu pada UU Sistem Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020. Di pengadilan, Mahkamah Agung (MA) melalui SK Dirjen Badilum MA menerbitkan SK No.1691/DJU/SK/PS.00/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum. Salah satu kritik yang disampaikan organisasi masyarakat sipil yakni harus ada pedoman bersama bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan keadilan restoratif.

“Perlu ada pedoman khusus antara ketiga lembaga penegak hukum itu terkait penerapan keadilan restoratif,” katanya.

Tags:

Berita Terkait