Adelina mengatakan dari hasil penelitian Kode Inisiatif terhadap putusan MK periode 2003-2016, sedikitnya ada 111 putusan MK tentang kepemiluan, dari jumlah itu 24 putusan mengabulkan permohonan. (Baca artikel: Ketika Harus Memilih).
Sayangnya, norma yang diberikan MK lewat putusan itu belum diakomodasi secara baik oleh pemerintah dalam membentuk RUU Penyelenggaraan Pemilu. Adelina mencatat ada 9 ketentuan dalam RUU tersebut yang potensial bertentangan dengan UUD RI 1945 dan putusan MK. “Ketentuan dalam RUU ini yang bertentangan dengan konstitusi berpotensi digugat ke MK,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (03/11).
Pertama, ketentuan mengenai penyelenggara Pemilu. Pasal 89 ayat (1) huruf (b) RUU menaikkan syarat usia anggota KPU dan Bawaslu Pusat dari 35 menjadi 45 tahun. Adelina mengatakan ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 27 dan 28D ayat (1) dan (3) serta pasal 28I ayat (2) UUD RI 1945. Pasal 58 ayat (4) RUU juga mengatur Peraturan KPU ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam rapat dengar pendapat. Menurut Adelina ketentuan itu tidak selaras pasal 22E ayat (5) UUD RI 1945 dan menyebabkan KPU tidak independen.
Kedua, syarat pencalonan. Pasal 209 ayat (1) huruf k RUU menyebut para calon harus mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, aparat sipil negara, anggota Polri/TNI, direksi, komisaris, dewan pengawas, karyawan BUMN/BUMD atau badan lain yang bersumber dari keuangan negara, dinyatakan secara tertulis lewat surat pengunduran diri dan tidak dapat ditarik kembali. (Baca juga: Syarat Dukungan Calon Perseorangan Pilkada Mengacu DPT).
Ketentuan itu potensial melanggar pasal 28D ayat (1) karena tidak memberi kepastian hukum dan perlakuan yang sama. Sebab, dalam ketentuan mencalonkan diri menjadi calon Presiden/Wakil Presiden di RUU itu syarat mengundurkan diri tersebut dikecualikan.
Ketiga, keterwakilan perempuan. Penjelasan Pasal 214 ayat (2) RUU mengatur setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan. Bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1 atau 2 atau 3 dan seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6 dan seterusnya.
Menurut Adelina aturan itu tidak selaras dengan putusan MK No.20/PUU-XI-2013. Putusan itu mengubah ketentuan Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 menjadi ‘dalam setiap 3 bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1 dan/atau 2 dan/atau 3 dan demikian seterusnya. “Ini artinya bakal calon perempuan tidak hanya terbatas hanya 1 calon pada setiap 3 bakal calon, tapi minimal 1 calon (bisa lebih dari 1 calon),” ujarnya.
Keempat, larangan kampanye pada masa tenang. Pasal 428 ayat (2) dan (6) RUU mengatur pengumuman hasil survei atau jajak pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada masa tenang. Pelanggaran terhadap ketentuan itu merupakan tindak pidana pemilu. Mengacu putusan MK No.24/PUU-XII/2014, Adelina menyebut hasil survei yang diumumkan pada masa tenang tidak termasuk pidana pemilu.
Kelima, ketentuan mengenai sanksi kampanye. Pasal 264 RUU mengatur KPU dalam merumuskan peraturan tentang pemberitaan penyiaran iklan kampanye pemilu dan pemberian sanksi berkoordinasi dengan KPI dan Dewan Pers. Adelina mengatakan dalam putusan MK No.32/PUU-VI-2008 pemberian sanksi dengan melibatkan KPI dan Dewan pers dinyatakan inkonstitusional karena mencampur aduk kewenangan dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye.
Keenam, pemilu lanjutan atau susulan. Pasal 412 ayat (3) RUU mengatur dalam hal pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40 persen jumlah provinsi atau 50 persen dari jumlah pemilih terdaftar secara nasional tidak dapat menggunakan hak untuk memilih, penetapan pemilu lanjutan atau pemilu susulan dilakukan oleh Presiden atas usulan KPU.
Penetapan waktu pemilu lanjutan atau susulan oleh Presiden itu menurut Adelina bertentangan dengan pasal 22E ayat (5) UUD RI 1945, khususnya penyelenggaraan pemilu yang mandiri. Perlu diantisipasi dalam kasus tersebut Presidennya merupakan incumben atau petahana.
Ketujuh, putusan DKPP. Pasal 437 ayat (12) RUU mengatur putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Padahal, putusan MK No.31/PUU-XI-2013 menyatakan sifat final dan mengikat putusan DKPP terhadap pelanggaran etik penyelenggara Pemilu dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai ‘putusan sebagaimana final dan mengikat bagi Presiden, KPU/KPU Provinsi, KPU Kabupaten Kota dan Bawaslu.’
Kedelapan, terkait sistem pemilu, diatur dalam Pasal 138 ayat (2) RUU. Ketua Kode Inisiatif, Veri Junaidi, mengatakan ketentuan itu mengatur pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas. (Baca juga: Kerangka Hukum Pemilu Harus Lengkap, Mengapa?).
Menurut Veri hal itu bertentangan dengan putusan MK No.22/PUU-IV-2008 yang menyatakan dasar penetapan calon terpilih berdasarkan calon yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, bukan atas dasar nomor urut terkecil yang ditetapkan partai politik.
Kesembilan, syarat parpol dalam mengajukan calon Presiden. Pasal 190 RUU mengatur pasangan calon hanya bisa diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang mendapat perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional pada Pemilu legislatif sebelumnya.
Veri berpendapat ketentuan itu tidak sejalan dengan amanat putusan MK No.14/PUU-XI-2013 yang menginginkan pelaksanaan pemilu serentak antara Pileg dan Pilpres pada 2019. Bila sebuah partai politik dinyatakan KPU lolos verifikasi menjadi peserta pemilu, mestinya partai tersebut berhak mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden. Syarat perolehan kursi 20 persen atau 25 persen suara pada pemilu sebelumnya tidak relevan lagi digunakan untuk pemilu serentak.
“Kalau dinyatakan lolos jadi peserta pemilu maka partai politik yang baru dibentuk punya hak yang sama dengan partai politik lama untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan pasal 190 RUU itu inkonstitusional,” tukasnya.
Veri mengusulkan agar DPR dan pemerintah menjalankan amanat konstitusi dan putusan MK terkait UU Kepemiluan. Berbagai hal itu perlu diakomodir dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu. Jika itu tidak dilakukan Veri khawatir bermacam ketentuan dalam UU Penyelenggaraan Pemilu yang dinilai bertentangan dengan konstitusi itu digugat ke MK dan dibatalkan. Itu bakal berdampak buruk terhadap pelaksanaan pemilu yang akan diselenggarakan.