9 Putusan MK Jadi Sorotan Publik Sepanjang 2018
Lipsus Akhir Tahun 2018:

9 Putusan MK Jadi Sorotan Publik Sepanjang 2018

Mulai aturan kewenangan DPR atas hak angket KPK, penundaan uji materi MA, advokat boleh menangani sengketa pajak tanpa Syarat, hingga memerintahkan pembentuk UU untuk mengubah aturan batas usia minimal pernikahan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

  1. Perjanjian Internasional Harus Libatkan DPR

 

Dalam Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018, MK menyatakan perjanjian internasional dalam jenis-jenis tertentu harus mendapat persetujuan DPR dengan sebuah UU. Jenis perjanjian tertentu tersebut sesuai bunyi Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yakni masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara, kedaulatan atau hak berdaulat negara, HAM dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, pinjaman dan/atau hibah luar negeri. (Baca Juga: MK: Perjanjian Internasional Ini Harus Libatkan DPR)

 

  1. MK Larang Pengurus IDI Jadi Anggota KKI

 

Melalui Putusan MK No. 10/PUU-XV/2017 mengenai uji materi sejumlah pasal dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran terkait pasal susunan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Dalam putusan pengujian Pasal 14 ayat (1) huruf a UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, intinya anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak boleh merangkap jabatan sebagai pengurus KKI.

 

Mahkamah beralasan IDI sebagai organisasi profesi dokter merupakan salah satu institusi asal anggota KKI. Keadaan ini menimbulkan potensi benturan kepentingan (conflict of interest) dari sisi IDI. Sebab, IDI bertindak sebagai regulator dalam menjalankan fungsi sebagai anggota KKI. Pada saat yang sama juga menjadi objek regulasi yang dibuat oleh KKI. Karena itu, IDI tidak boleh merangkap jabatan sebagai pengurus KKI. (Baca Juga: MK ‘Larang’ Pengurus IDI Jadi Anggota KKI)

 

  1. MK Larang Pengurus Parpol Jadi Anggota DPD

 

Melalui Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 mengenai uji materi Pasal 182 huruf I UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait syarat perseorangan yang ingin menjadi calon anggota DPD yang dimohonkan Muhammad Hafidz. Dalam putusan ini, Pasal 182 huruf I UU Pemilu mengenai syarat perseorangan yang ingin menjadi calon anggota DPD) ini dinyatakan inkonstitusional bersyarat bahwa keanggotaan DPD tidak boleh diisi oleh pengurus partai politik (parpol) mulai Pemilu 2019 dan pemilu berikutnya.

 

Sebenarnya sikap MK dalam putusan-putusan sebelumnya selalu menegaskan bahwa aturan pencalonan anggota DPD tidak boleh berasal dari anggota parpol. Untuk kondisi saat ini terdapat anggota parpol yang juga mengisi jabatan sebagai anggota DPD, maka MK menyatakan keanggotaannya tetap konstitusional. Sebab, putusan MK berlaku prospektif atau ke depan dan tidak boleh berlaku surut (retroaktif).

 

MK menegaskan untuk pemilu 2019, dalam proses pendaftaran calon anggota DPD dapat diberikan kesempatan bagi yang bersangkutan untuk tetap sebagai calon anggota DPD sepanjang telah mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik yang dibuktikan pernyataan tertulis. (Baca Juga: MK ‘Haramkan’ Pengurus Parpol Jadi Anggota DPD)

 

  1. Ambang Batas Pencalonan Presiden Konstitusional

 

Melalui Putusan MK No. 49/PUU-XVI/2018 dan No. 54/PUU-XVI/2018, MK kembali menolak uji materi aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diatur Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Mahkamah tetap pada pendiriannya dalam beberapa putusan sebelumnya. Seperti, putusan MK No 51-51-59/PUU-VI/2008, No 56/PUU-VI/2008, No 26/PUU-VII/2009, No 4/PUU-XI/2013, No 14/PUU-XI/2013, No 46/PUU-XI/2013, hingga putusan terakhir yakni putusan MK No. No.53/PUU-XV/2017. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait