Ab Massier dan Cerita tentang Bahasa Hukum Indonesia yang Terabaikan
Utama

Ab Massier dan Cerita tentang Bahasa Hukum Indonesia yang Terabaikan

Bahasa bukan hanya pakaian hukum, namun badan yang sesungguhnya dari hukum itu.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Albert Wilhelmus Hendrik Massier atau lebih dikenal sebagai Ab Massier mungkin tak populer di kalangan ahli hukum Indonesia yang lahir belakangan. Ab pun bukan Indonesianis dalam bidang hukum yang terus menerus menghasilkan karya tentang hukum Indonesia. Namun satu penelitian Ab selama 1991-2003 menghasilkan sebuah karya sangat penting bagi dunia hukum Indonesia. Karya berjudul Van ‘recht’ naar ‘hukum’: Indonesische juristen en hun taal, 1915-2000 itu menjadi disertasi yang berhasil dipertahankan Ab di Leiden University.

Pada tahun 2008 karya ini diterbitkan secara luas dalam bahasa Inggris dengan judul The voice of the law in transition: Indonesian jurists and their languages, 1915-2000. Bila disandingkan dengan karya Guru Besar Hukum kenamaan Soetandyo Wignjosoebroto yang berjudul Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, keduanya tampak saling melangkapi catatan sejarah panjang dunia hukum Indonesia. Bedanya, Ab memotret sisi penting yang kerap dianggap tidak penting dalam dialektika hukum: bahasa hukum.

“Profesi hukum adalah salah satu yang sangat dipengaruhi peran penting bahasa,” kata Ab penuh keyakinan dalam pengantar hasil penelitiannya lebih dari satu dekade silam.

Perancangan produk legislasi, akta, putusan pengadilan, gugatan ke pengadilan, serta berbagai aktifitas menulis, mengucap, membaca, dan mendengar terjadi setiap saat di jantung kerja-kerja hukum. Pekerjaan ahli hukum disebutnya mengolah makna dalam norma lewat bahasa.

(Baca juga: Bahasa Hukum Indonesia: Setelah 45 Tahun Simposium Medan-Parapat).

Mengutip pernyataan Sutan Takdir Alisjahbana dalam Simposium Bahasa dan Hukum tahun 1974, Ab menyebut bahasa bukan hanya pakaian hukum, namun badan yang sesungguhnya dari hukum itu. Perlu diingat bahwa Sutan Takdir Alisjahbana adalah seorang sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia yang bergelar Meester in de rechten (Sarjana Hukum) pula.

Pria kelahiran The Hague tahun 1963 ini pernah menghabiskan waktu yang panjang untuk meneliti bahasa di kalangan yuris Indonesia sejak masa kolonial hingga era milenium kedua. Ab pun berkunjung secara khusus ke Indonesia untuk penelitiannya. Salah satu makalahnya pernah dimuat dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia No.3 Tahun XXXI untuk edisi Juli-September 2001. Makalah itu berjudul ‘Penanganan Permasalahan Bahasa dalam Pembinaan Hukum Indonesia’.

Ia mengaku peneiltiannya bermula dari rasa heran atas gaya bahasa teks hukum terjemahan seperti Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Strafrecht yang dihasilkan Profesor R.Soebekti serta Profesor Moeljatno. Kedua terjemahan itu lebih dikenal sebagai Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Saya tertarik pada fakta bahwa teks-teks ini sekilas tampak diterjemahkan secara harfiah dari teks aslinya yang berbahasa Belanda,” ujar Ab saat diwawancara hukumonline. Ia melihat bahwa bahasa yang digunakan terlihat sangat berbeda dari Bahasa Indonesia yang umum. Ab bisa membedakannya dengan kapasitasnya sebagai linguis bergelar Master untuk Indonesian Languages and Cultures di Leiden University.

Hukumonline.com

Penelusuran Ab membawanya pada kenyataan lain bahwa berbagai istilah hukum di kalangan yuris Indonesia kerap berbeda satu sama lain. Rupanya itu semua dipengaruhi oleh ilmu hukum di Indonesia yang ‘diimpor’ langsung dengan bahasa Belanda sejak awal diajarkan. Bahasa Indonesia belum mencapai tingkat kematangan yang memadai untuk menampung berbagai ilmu pengetahuan hukum berbahasa Belanda sebelum masa kemerdekaan.

Sayangnya, kendala keterbatasan bahasa ini tak segera diatasi ketika memasuki masa kemerdekaan. Ab melihat ada perdebatan yang kerap tidak produktif di kalangan ahli hukum Indonesia akibat kebiasaan berbahasa yang rumit. Terutama disebabkan kesadaran yang rendah mengenai persoalan bahasa hukum.

Ia membandingkan dengan pengalaman Belanda yang juga mengadaptasi hukum dari Prancis. Sementara itu Indonesia mengadaptasi hukum peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Bedanya, bahasa hukum Belanda tidak menghadapi masalah seperti yang terjadi pada bahasa hukum Indonesia di kalangan profesi hukum Indonesia.Alasan utama perbedaan ini menurut saya karena produk hukum yang kami ‘impor’ telah dipahami dan ditulis dalam Bahasa Belanda sejak awal,” katanya kepada hukumonline.

Kesadaran yang rendah soal permasalahan berbahasa di bidang hukum oleh yuris Indonesia ini dilihat Ab tak kunjung meningkat saat memasuki tahun 2000. Termasuk dalam penyerapan berbagai terminologi hukum asing ke dalam hukum Indonesia. Apalagi sampai menyusun standardisasi istilah dengan kamus hukum besar sebagai acuan bersama para yuris.

Belum tampak pola serta penafsiran konsisten untuk berbagai istilah hukum baik yang lama maupun baru. Tentu saja kondisi itu berpengaruh dalam pengembangan hukum Indonesia di era interaksi global yang makin tanpa batas.

Punya Hubungan dengan Indonesia

Ketika ditanya hukumonline alasan ketertarikannya pada Indonesia, ia merasa memiliki hubungan khusus. Kakek dan nenek Ab bekerja di Indonesia sebagai pengawas lahan di Kadaster pada masa kolonial Hindia-Belanda. Ayahnya pun lahir di Pontianak, Kalimantan Barat tepat satu dekade sebelum Indonesia merdeka.

Keluarganya itu sempat pula pindah ke Malang, Jawa Timur sebelum akhirnya mengungsi selama perang berlangsung. Setelah akhirnya mereka semua kembali ke Belanda pada tahun 1950, Ab mengetahui kisah tentang Indonesia dari keluarganya. “Saya selalu merasa memiliki suatu hubungan dengan Indonesia,” katanya dalam perbincangan lewat surat elektronik dengan hukumonline.

Belakangan Ab beralih karier menjadi pengajar bahasa dan sastra Belanda di Bonaventuracollege, Leiden dan Rijnlands Lyceum, Wassenaar. Dalam rangka tersebut, pemilik gelar doktor linguistik hukum Indonesia ini bahkan kembali ke bangku kuliah dan meraih dua gelar baru sekaligus untuk Master of Art, Dutch Language and Literature dan Master of Education, Dutch Language and Literature.

Dihitung dari tanggal pendirian Rechtshogeschool pada 28 Oktober, hari ini adalah tahun ke-95 ilmu hukum diajarkan di perguruan tinggi Indonesia. Lalu apa kabarnya perhatian atas bahasa hukum Indonesia?

(Baca juga: Mereka yang Berjasa dalam Penerjemahan Resmi KUHP).

Bertepatan dengan peringatan Dies Natalis Rechtshogeschool ke-95 yang kini beralih nama menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, berikut ini hukumonline sajikan wawancara lewat surat elektronik dengan Ab Massier, Meneer Belanda peneliti bahasa hukum Indonesia.

Apa yang membuat Anda tertarik mengkaji bahasa hukum di Indonesia?

Saat saya mengajar ‘penerjemahan teks hukum Indonesia’ di Universitas Leiden pada tahun 1988-1991, saya menemukan sejumlah terjemahan undang-undang Indonesia antara lain oleh Prof.Subekti dan Prof.Moeljatno di koleksi perpustakaan  Van Vollenhoven Institute. Saya tertarik pada fakta bahwa teks-teks ini sekilas tampak diterjemahkan secara harfiah dari teks aslinya yang berbahasa Belanda. Dituliskan dalam bahasa yang terlihat sangat berbeda dari Bahasa Indonesia yang umum.  Terjemahan ini digunakan secara luas di berbagai fakultas hukum dan profesi hukum di Indonesia. Tidak lama kemudian saya menemukan laporan Simposium Medan (1974) yang menjadi titik awal penelitian saya mengenai bahasa hukum Indonesia.

Setelah disertasi Anda dipublikasikan, apakah isu bahasa hukum masih menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji?

Secara umum, saya pikir bidang penelitian bahasa hukum masih sangat menarik untuk para ilmuwan dari berbagai latar belakang disiplin. Saya sendiri masih tertarik pada subjek ini  (mengikuti perkembangan hukum Indonesia saat ini dan seterusnya). Namun untuk beberapa alasan saya memilih untuk berkarir di bidang yang baru.

Pada Simposium Bahasa dan Hukum di Medan, 1974, ada banyak rekomendasi yang berkaitan dengan pengembangan istilah hukum. Bagaimana Anda melihat kebijakan pemerintah dalam pengembangan bahasa hukum?

Seperti yang saya tuliskan dalam tesis saya, upaya dari luar sistem hukum negara untuk mengembangkan terminologi hukum jauh lebih lemah pengaruhnya dibandingkan dengan pembentukan terminologi oleh teks hukum Indonesia yang otoritatif (misalnya dengan produk legislasi baru). Oleh karena itu, KUHP yang baru akan sangat berkontribusi untuk penyeragaman istilah hukum pidana. Jauh lebih berpengaruh dibandingkan berbagai proyek penyusunan terminologi hukum.

Ini bukan berarti bahwa kamus hukum tidak berguna, tentu saja kamus hukum berguna untuk mencatat berbagai istilah yang pernah atau masih berlaku (sebuah peti harta karun baik untuk para ahli sejarah hukum maupun ahli sejarah bahasa!). Bisa juga berperan menjembatani pemahaman di antara para praktisi hukum dalam konteks internasional (misalnya Indonesisch-Nederlands Woordenboek Privaatrecht/Kamus Hukum Perdata Indonesia-Belanda yang diterbitkan tahun 2000).

Kongres-kongres bahasa Indonesia yang dilaksanakan belakangan, justru tak eksplisit lagi menyinggung bahasa hukum. Apakah Anda melihat perhatian terhadap bahasa hukum dari Badan Bahasa (Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan) dan kalangan hukum makin berkurang?

Sudah lama saya tidak mengikuti perkembangan kebijakan soal Bahasa Indonesia. Tentu saja jika Badan Bahasa semakin tidak mempersoalkan bahasa hukum bisa dilihat sebagai tanda telah terjadi perbaikan. Di sisi lain, belum tentu perhatian yang lebih banyak dari Badan Bahasa dalam mempengaruhi bahasa hukum dan istilah hukum bisa lebih berdampak. Minggu lalu ada siaran berita televisi di Belanda tentang inisiatif untuk mengutus tim ahli bahasa ke lembaga-lembaga pemerintahan Belanda. Mereka diminta membantu pemerintah untuk menerjemahkan berbagai gaya bahasa birokrasi pada berbagai formulir administrasi dan dokumen resmi ke dalam bahasa Belanda yang dipahami secara umum.

Proyek semacam ini hanya akan sangat sedikit berhasil  untuk persoalan bahasa hukum karena banyak kondisi khusus yang menyebabkannya jadi seperti yang kita lihat. Apalagi para praktisi hukum, seperti kalangan profesional lainnya, mengembangkan ‘kebiasaan berbahasa’ yang tujuannya mempertahankan ‘tradisi’ dan membedakan wilayah profesi mereka terhadap kalangan awam.

Apa saja faktor yang menghambat pengembangan bahasa hukum dalam kaitannya dengan studi hukum, khususnya di Indonesia?

Saya belum mengikuti lagi perkembangan atau diskusi soal hukum dalam konteks pendidikan. Tesis saya menyoroti keberagaman terminologi yang digunakan dalam buku-buku teks ilmu hukum dan kebiasaan para profesor hukum untuk melanggengkan istilah yang mereka buat sendiri atau istilah yang mereka dapatkan dari pengalaman pribadi saat mempelajari hukum. Terkait kurikulum pendidikan hukum, saya yakin pendalaman logika hukum dan kemampuan argumentasi hukum—yang sudah umum dilakukan selama ini di fakultas hukum—akan lebih bermanfaat dalam mengembangkan bahasa yang konsisten dan seragam dalam hukum alih-alih pendekatan khusus pada ‘bahasa hukum’ atau ‘terminologi hukum’.

Apakah studi bahasa hukum menjadi perhatian di Belanda? Jika iya, seberapa besar dan seperti apa bentuk perhatian di sana? Jika tidak, mengapa?

Secara umum, saya kira bahasa hukum di Belanda tidak mendapatkan perhatian sebesar yang dilakukan ahli hukum dan ahli bahasa di Indonesia.  Lebih tepatnya, bahasa hukum Belanda tidak menghadapi masalah seperti yang terjadi pada bahasa hukum Indonesia di kalangan profesi hukum Indonesia. Alasan utama perbedaan ini menurut saya karena produk hukum yang kami ‘impor’ telah dipahami dan ditulis dalam Bahasa Belanda sejak awal (misalnya kitab undang-undang hukum pidana dan hukum perdata Prancis yang menjadi dasar kitab undang-undang hukum perdata dan pidana di Belanda).

Nah, misalnya sejak awal tidak terjadi perdebatan tentang penerimaan istilah hukum Belanda 'onrechtmatige daad' di pasal 1401 dari Burgerlijk Wetboek yang lama (terjemahan dari pasal 1382 kitab undang-undang  hukum perdata Prancis). Istilah ini terus mantap dan konsisten dalam berbagai penafsiran. Yurisprudensi terkait kata berbahasa Belanda tersebut terus diikuti setelahnya. (Bandingkan dengan salah satu contoh perdebatan pilihan istilah ‘perbuatan pidana’ dan ‘tindak pidana’ di antara ahli hukum pidana Indonesia).

Apakah ada karya ahli bahasa hukum lainnya yang menjadi rujukan dalam studi ini?

Sayang sekali saya perlu melakukan penelitian lebih jauh untuk menjawab pertanyaan ini.

Tags:

Berita Terkait