Access to Justice Melalui Online Dispute Resolution
Kolom

Access to Justice Melalui Online Dispute Resolution

Perubahan dalam bentuk apapun tidak boleh melunturkan komitmen seorang advokat sebagai the “Future Lawyer” yang mumpuni untuk mengesampingkan kode etik advokat.

Bacaan 9 Menit

Pertumbuhan yang pesat dalam online cross-border transaction menimbulkan kebutuhan akan adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang timbul dari transaksi dimaksud, sekaligus mekanisme penyelesaian sengketa yang juga dilakukan secara online. ODR mulai dibahas secara lebih serius di tingkat internasional dengan melibatkan negara-negara anggota the United Nations.

Secara tegas the United Nations menyatakan bahwa: “one such mechanism is online dispute resolution (“ODR”) which can assist the parties in resolving the dispute in a simple, fast, flexible and secure manner without the need for physical presence at a meeting or hearing. ODR encompasses a broad range of approaches and forms (including but not limited to ombudsmen, complaints boards, negotiation, conciliation, mediation, facilitated settlements, arbitration and others) and the potential of hybrid process comprising both online and offline elements.”.

Dalam konteks hukum Indonesia, Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah terlebih dahulu memberikan fondasi untuk dapat digunakannya mekanisme lain dalam rangka alternatif penyelesaian sengketa, dimana pada hakikatnya para pihak dapat membuat suatu perjanjian tersendiri untuk menyelesaikan sengketa di antaranya dengan hukum acara yang disepakati para pihak.

Pada saat ini, persidangan secara online bukanlah suatu hal yang asing lagi. Terlebih lagi di dunia internasional, dalam banyak persidangan arbitrase internasional sudah dilakukan dengan cara virtual hearing atau remote arbitration. Proses yang demikian sepertinya akan terus dilakukan bahkan akan tetap berlangsung meskipun pandemi Covid-19 telah usai. Dalam praktik hukum di Indonesia, beberapa panduan yang diberikan oleh Mahkamah Agung untuk melakukan virtual hearing dalam persidangan pidana patut diberi apresiasi.

Pergeseran Paradigma Hukum

Dalam era industri 4.0 saat ini, merupakan suatu keniscayaan di mana hampir semua komunikasi dilakukan secara digital. Prof. Klaus Schwab, Founder dan Chairman dari Davos, suatu forum ekonomi dunia yang berkedudukan di Jenewa, dalam bukunya mengatakan bahwa: ‘a technological revolution, that is blurring the lines between the physical, digital and biological sphere’.

Revolusi dimaksud mau tidak mau akan berdampak pula pada cara kerja atau cara berkomunikasi antara advokat dengan sesama rekan sejawat atau advokat dengan penegak hukum lainnya. Begitu pula akan berdampak terhadap kliennya yang menerima advis atau bantuan hukum (legal service) dari seorang advokat.

Perubahan paradigma hukum dimaksud secara nyata dijelaskan oleh Richard Susskind di mana pada pokoknya terdapat pergeseran yang dulunya adalah “advisory service menjadi information service”, yang awalnya “one-on-one menjadi one-to-many”. Sebelumnya “reactive service menjadi proactive service”, dan yang paling akhir “print-based menjadi IT-based legal system“. Hal yang tidak berubah hanyalah “Legal Service”.

Tags:

Berita Terkait