Access to Justice Melalui Online Dispute Resolution
Kolom

Access to Justice Melalui Online Dispute Resolution

Perubahan dalam bentuk apapun tidak boleh melunturkan komitmen seorang advokat sebagai the “Future Lawyer” yang mumpuni untuk mengesampingkan kode etik advokat.

Bacaan 9 Menit

Future Lawyer Harus Tetap Menjaga Due Process of Law

Pada saat ini dan dalam satu atau dua dekade ke depan, sangat beralasan untuk mengatakan bahwa pembahasan di antara para advokat akan lebih fokus kepada pembangunan online legal service (OLS). Dengan adanya OLS, maka para pencari keadilan yang awalnya terhambat untuk melakukan konseling dengan advokat karena alasan jarak dan waktu serta biaya, menjadi dimudahkan untuk berkonsultasi terlebih dahulu atau mendapatkan advis hukum awal (preliminary legal advice) sebelum melakukan upaya hukum.

Perubahan dalam bentuk apapun tidak boleh melunturkan komitmen seorang advokat sebagai theFuture Lawyer” yang mumpuni untuk mengesampingkan kode etik advokat. Adagium fiat justitia ruat caelum kiranya sangat relevan dan akan tetap hidup walaupun ada perubahan dari offline justice menjadi online justice. Adagium lainnya yakni fiat justitia ne pereat mundus yang artinya hukum harus tetap ditegakkan agar langit tidak runtuh kiranya menjadi lebih relevan pada masa yang akan datang. Penegakan hukum yang dilakukan antara lain oleh advokat dengan tetap menjunjung tinggi etika advokat sama sekali tidak boleh menyerah dalam situasi apapun, baik sekarang maupun besok. Baik besok maupun di masa yang akan datang. Dengan demikian, access to justice dapat diperoleh terlepas dari adanya perubahan apapun dan kapanpun.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah access to justice dalam mekanisme ODR harus tetap mengedepankan due process of law? Penulis memperoleh pengertian dan pemahaman mengenai due process of law bukan dari bangku kuliah, namun dari pengalaman praktik di mana Penulis pernah bekerja dan banyak belajar dari advokat kenamaan yakni Adnan Buyung Nasution yang dikenal sebagai “Bang Buyung”.

Bang Buyung (almarhum) selalu menegaskan bagaimana pentingnya proses suatu penyidikan, penuntutan dan persidangan yang harus selalu menghormati due process of law. Pentingnya hal tersebut harus disampaikan baik dalam surat-menyurat kepada rekan sejawat advokat, kepada penegak hukum maupun secara verbal di persidangan.

Lalu, bagaimana suatu persidangan ODR dapat memenuhi due process of law? Apakah komunikasi secara virtual menjadikannya menjadi undue process of law? Sebagaimana disampaikan sebelumnya, jejak digital yang tercatat dalam setiap persidangan virtual justru harus membuat advokat lebih berhati-hati dalam menyampaikan sesuatu secara verbal maupun tertulis dalam rangka pembelaan kliennya.

Susunan kalimat yang diucapkan dan yang tertulis dalam dokumen akan lebih mudah untuk dilakukan revisit guna diperiksa kembali apakah telah terjadi suatu contempt of court atau apakah due process of law sudah dipenuhi, apakah hakim telah secara benar menjalankan kode etik hakim, apakah jaksa penuntut umum sudah benar dalam menyampaikan dakwaannya atau penjelasannya secara verbal atau tulisan.

Kemudahan untuk mengakses kembali setiap komunikasi yang dilakukan secara digital pada akhirnya akan memudahkan penilaian terhadap dipenuhinya due process of law. Dengan demikian, akan mencegah adanya undue process of law karena ada transparansi dan akuntabilitas yang lebih jelas dan dapat dikunjungi kembali setiap saat untuk diperiksa.

*)Eri Hertiawan, Advokat di Jakarta, Anggota PERADI, Member pada SIAC Court of Arbitration.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait