Meski Pilkada Serentak 2024 masih beberapa tahun lagi, tapi DPR dan Pemerintah sudah pasang kuda-kuda merancang penggantian kepala daerah agar roda pemerintahan di daerah tetap berjalan. Pemerintah berencana mengangkat lebih dari 200-an pelaksana tugas (Plt) kepala daerah yang berasal dari perwira tinggi TNI/Polri hingga pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 untuk mengisi kekosongan kepemimpinan di 24 provinsi dan 247 kabupaten/kota selama 2022-2023.
Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia menilai ada kekhawatiran publik atas keterlibatan prajurit TNI dan Polri aktif untuk mengisi jabatan kepala daerah hingga pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2024. Sebab, ingatan publik masih kuat dengan peran dwi fungsi ABRI di era orde baru. TNI kala itu berpolitik praktis yang mendominasi pemerintahan selain sistem persenjataan.
“Ini kekhawatiraan, wajar saja,” ujar Doli Kurnia dalam diskusi virtual bertajuk “Polemik Wacana Pejabat Kepala Daerah dari TNI/Polri Aktif ke Depan, Apa Konsekuensinya?”, Selasa (12/10/2021). (Baca Juga: DPR Minta Pemerintah Kaji Mendalam Plt Kepala Daerah dari TNI-Polri Aktif)
Dia melihat di era reformasi, Polri memiliki peran yang jauh lebih besar dibanding era pemerintahan sebelum-sebelumnya. Persoalannya, ada kekhawatiran publik ketika diberikan kekuasaan di bidang politik, ekonomi, dan persenjataan berpotensi besar terjadinya abuse of power. Termasuk bila diberikan amanah memimpin daerah dengan kekuasaan besar di pundak penjabat kepala daerah.
Untuk itu, kata dia, kekhawatiran ini penting dan perlu disampaikan ke Pemerintah dan DPR sebagai aspirasi publik yang harus terus disuarakan. Kalaupun di beberapa daerah ditempatkan penjabat kepala daerah dari personil Polri ataupun TNI aktif, perlu adanya kesadaran tentang posisinya hanya diperbantukan mengawal jalannya roda pemerintahan di daerah. “Jadi membantu, bukan membuat masalah baru. Prinsip-prinsip ini yang harus kita ingatkan. Publik pun harus mengingatkan pemerintah,” saran dia.
Meski begitu, secara pribadi, Politisi Partai Golkar itu tak mempersoalkan latar belakang penjabat kepala daerah dari unsur TNI atau Polri sepanjang pejabatnya punya integritas dan memahami tugas pokok dan fungsinya membantu pemerintahan daerah menjadi lebih baik. Penempatannya pun bukan menjadi bagian sub ordinat atau kepentingan politik tertentu.
“Siapapun yang mengisi jabatan kepala daerah nantinya harus netral; bisa berkomunikasi dengan elit di daerah ataupun pusat. Memiliki kepemimpinan yang kuat dalam membangun daerah. Tak kalah penting, memiliki visi dan misi memajukan daerah. Jadi kriterianya harus lengkap. Karena bakal memimpin cukup lama 1,5 tahun sampai 2 tahun,” katanya.
Dewan Penasihat Perkumpulan untuk Demokrasi dan Pemilu (Perludem), Titi Anggraini mengatakan pengaturan rencana Pilkada Serentak 2024 telah diatur dalam Pasal 201 ayat (9) UU No.10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada). Beleid ini secara jelas mengatur pengisian kekosongan jabatan kepala daerah yang berakhir pada tahun 2022 dan 2003 mendatang.
Pasal 201 ayat (9) menyebutkan, “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024”.
Ayat (10)-nya menyebutkan, “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sementara ayat (11)-nya menyebutkan, “Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dia melanjutkan dalam Pasal 19 ayat (1) UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) mendefinisikan jabatan pimpinan tinggi madya. Antara lain, sekretaris daerah provinsi. Sedangkan jabatan pimpinan tinggi pratama, antara lain meliputi sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala dinas/kepala badan provinsi.
Melihat agenda penyelenggaran Pemilu Kepala Daerah yang direncanakan pada 27 November 2024 mendatang perlu memikirkan pengisian jabatan kepala daerah yang bakal kosong. Dia mencatat kepala daerah yang akhir masa jabatannya pada rentang 2022-2024 terdapat 24 Gubernur dan 248 Bupati dan Walikota. Selama masa kampanye Pilkada, petahana kepala daerah berkewajiban cuti di luar tanggungan negara.
“Jadi ada pula kebutuhan pada pelaksana tugas (Plt) kepala daerah petahana pada Pilkada 2024 untuk daerah-daerah pada siklus pilkada pengulangan Pilkada 2020 (sebanyak 270 daerah, red),” katanya.
Hanya jabatan tertentu
Menurut Titi, dalam praktiknya terbuka peluang bagi prajurit TNI dan Polri mengisi jabatan lain. Tapi, ada syarat dan jabatan tertentu yang dapat diduduki TNI. Pasal 47 ayat (1) UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional (UU TNI) menyebutkan, "Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Ayat(2)-nyamenyebutkan,“Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Kemudian ayat(3)-nya menyebutkan,“Prajurit yang menduduki jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan atas permintaan pimpinan departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen dimaksud.”
Titi pun merujuk Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah mengatur dengan jelas. Pasal 147 PP No.11 Tahun 2017 ini menyebutkan, “Jabatan ASN tertentu di lingkungan Instansi Pusat tertentu dapat diisi oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan kompetensi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Sedangkan Pasal 157 ayat (1) menyebutkan, “Prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Polri dapat mengisi jabatan pimpinan tinggi (JPT) pada Instansi Pemerintah selain Instansi Pusat tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif”.
Titi mengingatkan prajurit TNI dan Polri aktif yang menduduki jabatan tinggi madya atau pratama berdasarkan permintaan dan penugasan secara spesifik. Dia khawatir preseden serupa terjadi seperti Komjen Pol Mochamad Iriawan yang kala itu ditugaskan sebagai Sekretaris Utama (Sestama) Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas). Namun belakangan malah ditunjuk menjadi Plt Gubernur Jawa Barat pada 2018. Langkah tersebut seolah mengalihkan fungsi tugas dari permintaan awal.
Mantan Direktur Eksekutif Perludem itu berpendapat, desain yang telah direncanakan lama berdasarkan Pasal 201 UU Pilkada bukanlah sesuatu yang mendadak atau tiba-tiba. semestinya sudah terdapat mitigasi dan persiapan matang untuk merancang kebutuhan pengisian penjabat pemerintahan daerah menjelang Pilkada Serentak 2024 mendatang.
Dia berharap pemerintah menghindari kontroversi dan spekulasi di tengah kerumitan dan kompleksitas pengisian kekosongan jabatan kepala daerah di tengah tensi politik menjelang Pilkada 2024 yang bakal memanas agar energi bangsa tidak habis untuk hal-hal yang semestinya bisa dihindari bersama. Menurutnya, bila pengisian penjabat kepala daerah menjadi beban bagi tata kelola pemerintahan, maka pilihan normalisasi pilkada harus tetap dipertimbangkan yakni pilkada digelar pada akhir 2022 atau awal 2023.
Baginya, penjabat kepala daerah dari institusi TNI ataupun Polri aktif dapat membuka kotak pandora pada ekses yang lebih luas. Seperti toleransi dan upaya melegitimasi lebih besar pada keterlibatan TNI/Polri di panggung politik dengan argumen kompetensi, kapasitas, hingga profesionalitas. “Ini mesti kita hindari bersama,” sarannya.
Menurutnya, pilihan yang lebih kondusif menggunakan sumber daya manusia sebagaimana diatur Pasal 201 UU No.10 Tahun 2016 dengan mengangkat Plt kepala daerah untuk jabatan Sekda di level pemerintah provinsi maupun kotamadya dengan pengawasan yang melekat, optimal dan proporsional.
“Sekretaris Daerah serta merta (otomatis, red) menjadi Penjabat Kepala Dearah dengan pengawasan optimal dan proporsional dari Pemerintah, Komisi Aparatur Sipil Negara, Bawaslu, Ombudsman, dan perangkat negara lainnya yang punya otoritas,” sarannya.