Ada Kemungkinan KPK Periksa Azis Syamsuddin, Ingat Putusan MK Ini!
Berita

Ada Kemungkinan KPK Periksa Azis Syamsuddin, Ingat Putusan MK Ini!

Bila KPK ingin meminta keterangan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden, kecuali kondisi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Dilansir sejumlah media, sebelumnya Ketua KPK Firli Bahuri mengisyaratkan akan memeriksa Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin untuk kepentingan penyidikan kasus ini. Azis akan diperiksa KPK dalam waktu dekat ini. “Itu kepentingan penyidikan, secepatnya, kalau bisa Senin kami periksa, kami periksa. Kalau bisa Selasa, kami periksa,” kata Firli di Kantornya, Sabtu (24/4/2021) kemarin.    

Lalu, bagaimana proses pemeriksaan anggota DPR termasuk pimpinan DPR yang diduga terlibat kasus hukum?

Dalam Pasal 245 ayat (1) UU No.2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3), disebutkan “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).”

Tapi, Pasal 245 ayat (2) UU 2/2018 menyebutkan persetujuan tertulis dari Presiden tersebut tidak berlaku terhadap anggota DPR yang:

  1. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
  2. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
  3. disangka melakukan tindak pidana khusus.

Lalu, melalui Putusan MK No. XVI/PUU-XVI/2018 tanggal 28 Juni 2018, MK telah menyatakan frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.”

Sementara itu, frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga, Pasal 245 ayat (1) UU MD3 selengkapnya berbunyi “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindakan pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.” (Baca Juga: MK Hapus ‘Panggil Paksa’ dan Pangkas Wewenang MKD)

Dengan begitu, penyidik (KPK) tidak perlu lagi meminta izin MKD, hanya wajib mendapatkan persetujuan tertulis Presiden dalam hal pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan tugasnya. Kecuali, kondisi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3.

Seperti diketahui, Wakil Ketua Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia, Kurniawan Adi Nugroho pun sudah melaporkan Azis Syamsuddin ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Senin (26/4/2021) kemarin. Dalam laporannya, Azis dinilai melanggar kode etik lantaran diduga mmemfasilitasi pertemuan antara penyidik KPK dengan Syahrial. Laporan dugaan pelanggaran etik anggota dewan ini sudah diterima MKD. (ANT)  

Tags:

Berita Terkait