Ada Potensi Gugatan Investor Asing di balik Perjanjian Investasi Bilateral Indonesia-Singapura
Berita

Ada Potensi Gugatan Investor Asing di balik Perjanjian Investasi Bilateral Indonesia-Singapura

Koalisi menilai penandatanganan BIT Indonesia-Singapura merupakan bentuk pengingkaran komitmen Pemerintah Indonesia terhadap perlindungan kepentingan rakyat yang telah dibuat sejak 2013.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Koalisi menilai, penandatanganan yang dilakukan bersamaan dengan berlangsungnya sidang tahunan IMF dan Bank Dunia di Bali tersebut, semakin memperlihatkan nuansa keberpihakan Pemerintah Indonesia kepada sistem neo-liberal yang mempertahankan impunitas korporasi ketimbang perlindungan hak rakyat.

 

“Menunjukkan keberpihakan Pemerintah kepada sistem neo-liberal yang mempertahankan perlindungan korporasi ketimbang perlindungan hak rakyat,terang Koordinator KRuHA, Muhammad Reza.

 

Di dalam perjanjian tersebut berisi banyak ketentuan yang mewajibkan Indonesia untuk memberikan perlindungan maksimum kepada investor asing dengan tidak melakukan hal-hal seperti: tindakan diskriminasi, tindakan nasionalisasi, serta tindakan pengamanan terhadap investor asing. Jika Indonesia melanggar, maka Indonesia dapat digugat oleh investor asing di arbitrase internasional sebagaimana kebiasaan perjanjian investasi internasional yang memuat mekanisme sengketa investasi yang memberi mekanisme kepada investor asing untuk dapat menggugat negara di arbitrase internasional.

 

Dampak dari BIT ini sudah disadari oleh Pemerintah Indonesia di mana perjanjian investasi internasional yang memuat mekanisme ISDS ini telah menghilangkan kedaulatan negara (policy space) dan fungsi negara dalam menjalankan kewajiban pemenuhan hak asasi manusia terhadap rakyatnya. Dampak buruk mekanisme sengketa ISDS ini tidak berhenti hanya di situ. Melainkan berdampak terhadap kerugian keuangan negara ketika harus digugat untuk mengganti potensi kerugian yang diderita oleh korporasi asing yang nilainya mencapai triliunan rupiah.

 

Contohnya, Churcill Mining pada 2012 menggugat negara sebesar AS$1,2 miliar atau setara dengan Rp14,4 triliun. Nilai itu dalam APBN 2015 hampir setara dengan alokasi subsidi untuk pangan yakni senilai Rp18,9 triliun. Pada tahun 2013, Pemerintah Indonesia sudah pernah memutuskan untuk melakukan review dan menghentikan pemberlakuan BIT dengan beberapa negara dengan alasan BIT menimbulkan persoalan besar terhadap praktik pembuatan kebijakan negara.

 

Ada 4 alasan dasar saat ini yang membuat Indonesia melakukan review dan penghentian terhadap BIT. Pertama, tidak adanya keseimbangan antara perlindungan investor dan kedaulatan nasional. Kedua, ketentuan dalam perjanjian memberikan perlindungan dan hak-hak yang luas bagi investor asing, membiarkan negara tuan rumah tidak memiliki ruang kebijakan (policy space) untuk menerapkan tujuan pembangunannya sendiri.

 

Ketiga, permasalahan yang ditimbulkan dari Penyelesaian Sengketa Investor-Negara (ISDS), telah meningkatkan eksposur Indonesia terhadap klaim investor dalam arbitrase internasional. Keempat, ketentuan perjanjian investasi internasional berpotensi mengesampingkan undang-undang nasional .

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait