Ada Potensi Gugatan Investor Asing di balik Perjanjian Investasi Bilateral Indonesia-Singapura
Berita

Ada Potensi Gugatan Investor Asing di balik Perjanjian Investasi Bilateral Indonesia-Singapura

Koalisi menilai penandatanganan BIT Indonesia-Singapura merupakan bentuk pengingkaran komitmen Pemerintah Indonesia terhadap perlindungan kepentingan rakyat yang telah dibuat sejak 2013.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Alfred De Zayas, dari UN Independent Experts on the Promotion of Demoractic and Equitable International Order, menyatakan dampak dari implementasi mekanisme ISDS telah mencegah negara dari melaksanakan kewajibannya untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak asasi manusia. De Zayas memastikan bahwa hilangnya ruang kebijakan negara karena adopsi mekanisme ISDS bertentangan dengan Pasal 28 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 2 dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

 

Oleh karena itu, Koalisi menilai penandatanganan BIT Indonesia-Singapura merupakan bentuk pengingkaran komitmen Pemerintah Indonesia terhadap perlindungan kepentingan rakyat yang telah dibuat sejak 2013.

 

Baca:

 

Luput dari Perhatian Publik

Penandatanganan BIT Indonesia-Singapura pada 11 Oktober 2018 sangat luput dari perhatian publik, bahkan parlemen sekalipun. Tertutupnya partisipasi dan akses publik terhadap informasi serta draft teks perjanjian di dalam negosiasi BIT dirasa telah mengancam demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Terlebih, BIT Indonesia-Singapura disahkan atau diratifikasi tanpa memerlukan persetujuan DPR RI sehingga fungsi kontrol rakyat/DPR atas kekuasaan Pemerintah telah hilang, sehingga hal ini telah bertentangan dengan konstitusi.

 

Padahal di dalam Pasal 11 ayat (2) UUD RI 1945 mengatur, Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

 

Perjanjian BIT memiliki dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat, khususnya ketika negara tidak lagi memiliki ruang yang bebas untuk membuat kebijakan dan tersandera dengan kepentingan korporasi asing akibat ancaman gugatan ISDS. Bahkan, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof.Hikmahanto Juwana, dalam keterangannya sebagai ahli di Sidang Perkara NO.13/PUU-XVI/2018 terhadap Undang-undang No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional di Mahkamah Konstitusi, ikut memperkuat pentingnya Persetujuan DPR terkait BIT. Gugatan ini diajukan pada 14 Februari 2018 oleh Koalisi ini.

 

Dalam keterangannya, Hikmahanto menyatakan, “dalam implementasinya BIT yang ditandatangani Pemerintah ternyata telah memiliki dampak yang tidak lagi hanya sekadar teknis. Tetapi ada konsekuensi yang fundamental dari BIT di mana investor dapat menggugat negara di arbitrase internasional dan berpotensi dikalahkan oleh investor. Sehingga perjanjian tersebut perlu dilakukan secara hati-hati oleh negara, dan dapat dipahami bahwa BIT memang sebuah perjanjian yang secara substansi tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional yang tidak memerlukan persetujuan DPR”.

 

Oleh karena dampaknya yang sangat fundamental bagi kehidupan rakyat maka sudah sepatutnya BIT Indonesia-Singapura harus mendapatkan persetujuan rakyat. “Jika tidak, maka BIT Indonesia-Singapura harus dianggap inkonstitusional,” tutup Ketua Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS) David Sitorus.

Tags:

Berita Terkait