Ada Potensi Maladministrasi Penyelenggaraan BPJS Kesehatan Terkait Kuota Layanan
Terbaru

Ada Potensi Maladministrasi Penyelenggaraan BPJS Kesehatan Terkait Kuota Layanan

Seperti adanya penerapan di luar ketentuan, praktik yang tidak sesuai standarisasi/regulasi, diskriminasi, pengabaian kewajiban hukum dan penyimpangan prosedur dan keterbukaan informasi publik.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Komisioner Ombudsman Republik Indonesia Robert Na Endi Jaweng. Foto: ombudsman.go.id
Komisioner Ombudsman Republik Indonesia Robert Na Endi Jaweng. Foto: ombudsman.go.id

Pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan untuk mendukung terciptanya pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan melalui program jaminan sosial bidang kesehatan atau jaminan kesehatan nasional (JKN) yang diselenggarakan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sejak beroperasi 2014, program JKN sangat dirasakan manfaatnya bagi seluruh masyarakat Indonesia. Masyarakat tak perlu lagi khawatir untuk bertandang ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan layanan kesehatan.

Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (RI) Robert Na Endi Jaweng mengatakan masih banyak tantangan yang dihadapi program JKN. Ombudsman termasuk lembaga negara yang ikut mengawasi pelaksanaan pelayanan kesehatan publik JKN misalnya. Setidaknya dari berbagai masalah dalam layanan JKN salah satu yang disorot adalah adanya ‘kuota’ layanan kesehatan bagi peserta JKN di fasilitas kesehatan.

Dia menuturkan, periode 2021-2022 Ombudsman menerima 700 laporan masyarakat terkait penyelenggaraan kesehatan di seluruh Indonesia. Menurutnya, ratusan laporan itu menunjukkan pelayanan kesehatan bagi publik belum optimal. “Pada kenyataannya fasilitas kesehatan (Faskes), tenaga kesehatan, manajemen faskes maupun BPJS Kesehatan belum maksimal dalam memfasilitasi masyarakat untuk memperoleh layanan kesehatan yang berkualitas,” ujarnya sebagaimana dikutip dari Ombudsman, Selasa (28/2/2023).

Baca juga:

Asisten Ombudsman Bellinda W Dewanti menambahkan, ada 4 potensi maladministrasi dalam penyelenggaraan kesehatan terkait ‘kuota’ layanan. Menurutnya, lembaga tempatnya bernaung  melihat ada penerapan di luar ketentuan. Kemudian adanya praktik yang tidak sesuai standarisasi/regulasi, diskriminasi, pengabaian kewajiban hukum dan penyimpangan prosedur dan keterbukaan informasi publik.

Bellinda merinci 4 potensi maladministrasi tersebut. Pertama, absennya standar dalam batasan pemberian kuota layanan menyebabkan Faskes secara sepihak menentukan jumlah ‘kuota’ tersebut. Penerapan kuota itu memunculkan diskriminasi dalam pemberian layanan kepada peserta JKN karena adanya keterbatasan kemampuan, kurangnya dokter, ruangan, alat medis dan adanya perbedaan pembiayaan bagi faskes.

Baginya, Ombudsman melihat pengabaian kewajiban hukum dan penyimpangan prosedur karena kurang maksimalnya fungsi pengawasan dari sejumlah otoritas berwenang. Seperti Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) dan BPJS Kesehatan dalam memastikan pembatasan layanan tidak terjadi di seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKTRL). Akses informasi pun belum terdistribusi di seluruh FKTP dan FKRTL sehingga adanya standarisasi yang berbeda-beda.

Tags:

Berita Terkait