Ade Maman Suherman: Kita Butuh Lawyers Andal di Dunia Internasional
Profil

Ade Maman Suherman: Kita Butuh Lawyers Andal di Dunia Internasional

Indonesia membutuhkan para pengacara yang andal dalam bernegosiasi dalam banyak hal. Peran perguruan tinggi sangat besar.

Oleh:
MYS/FAT
Bacaan 2 Menit
Profesor Ade Maman Siherman, Dekan Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto. Foto: HOL/FEB
Profesor Ade Maman Siherman, Dekan Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto. Foto: HOL/FEB
Sebagai bagian dari dunia internasional, Indonesia tak bisa melepaskan diri dari potensi sengketa bisnis yang berujung pada arbitrase. Di lapangan lain, Indonesia membutuhkan sumber daya andal untuk berunding dalam isu perdagangan agar tidak merugikan kepentingan dalam negeri.

Pengacara salah satu profesi yang menunjang kepentingan Indonesia di dunia internasional. Dalam kasus arbitrase misalnya pemerintah Indonesia ‘terpaksa’ menyewa pengacara asing karena kurangnya sumber daya manusia pengacara nasional, terutama pemahaman tentang hukum asing. Tetapi, persoalan sebenarnya tidak sesederhana yang dibayangkan.

Profesor Ade Maman Suherman, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto termasuk yang melihat lebih jauh masalahnya. Ketimpangan dalam relasi antarnegara ikut berperan. Ada kendala sistemik antara negara berkembang dengan negara maju,” kata pria kelahiran 11 Juli 1967 itu. Ade menuliskan pandangannya tentang ketimpangan relasi itu dalam buku Aspek Hukum dalam Ekonomi Global (2004).

Ade termasuk guru besar muda yang menaruh perhatian pada masalah-masalah hukum internasional. Saat ditemui hukumonline di kantornya Agustus 2017 lalu, lulusan magister hukum Rijks Universiteit Groningen Belanda itu menyampaikan beberapa poin pandangannya mengenai kesiapan sumber daya manusia Indonesia untuk go international, dan beberapa masalah hukum bisnis. Berikut petikannya:

Bagaimana Anda melihat kesiapan SDM hukum Indonesia menghadapi ancaman arbitrase yang sering dipakai sejumlah perusahaan dalam sengketa bisnis internasional?
Orang hukum Indonesia yang mumpuni di bidang (arbitrase internasional) itu tidak banyak. Tapi saya juga melihat ada kendala sistemtik antara negara berkembang dengan negara maju. Kita belum bicara aspek sumber daya manusia. Tapi secara finansial, legal fee, dan sebagainya masih kendala besar (bagi Indonesia). Misalnya dispute resolution di WTO, luar biasa besar biayanya kalau kita mau meng-hire konsultan-konsultan internasional. Bisa menyedot APBN kita sekian persen.

(Baca juga: Menteri Yasonna: Indonesia Masih Kekurangan Pengacara Andal)

Benarkah miliaran rupiah biaya harus dikeluarkan sekali berperkara di arbitrase internasional?
Itu luar biasa (besar). Apalagi bayarnya dolar Amerika Serikat. Adalagi dispute interdisipliner. Misalnya, isu pertanian. Itu kan harus orang-orang pertanian, ditambah orang legal. Ada buku saya menggambarkan gap yang dihadapi negara berkembang ketika berhadapan dengan negara maju. Berhadapan dengan negara maju yang dananya sudah kuat, dalam prose situ pun kita sudah kedodoran dalam hal biaya. Demikian juga dalam hal SDM. Jadi, fakultas-fakultas hukum harus menyiapkan SDM yang bisa berkompetisi secara internasional. Paling tidak basic-nya bahasa Inggris dan menguasai hukum bisnis (hukum perdata dan hukum bisnis kontemporer). Kan sudah berkembang, tak hanya KUH Perdata. Undang-Undang Perseroan Terbatas sudah sendiri. Demikian juga Undang-Udang yang lain. Di Fakultas-fakultas hukum tidak terlalu banyak yang committed dan fokus di bidang itu.

Apakah kondisi itu juga berpengaruh pada posisi Indonesia dalam perundingan WTO, AFTA dan lain-lain?
Saya kira berpengaruh ya. Ditambah rasa kepercayaan diri, confidence, dan bekal atau kemampuan bernegosiasi. Negotiation itu kan tidak hanya knowledge tapi skill juga. Masalah biaya dan lain-lain itu juga. Yang in charge dalam bidang ini kan Kementerian Perdagangan. Dalam konteks tertentu, Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM sedikit banyak juga berkaitan. Tapi banyak kasus yang harus di-handle (ditangani) bersama-sama.

Bagaimana Anda melihat negotiation skill orang-orang hukum kita, khususnya dalam sengketa bisnis?
Sebenarnya ini penting tidak hanya dalam isu perdagangan. Dalam isu lain kita tidak terlalu firm menghadapi sengketa yang ada. Tugas Fakultas Hukum di seluruh Indonesia menyiapkan SDM untuk itu. Kita memang punya banyak corporate lawyer tapi itu hanya privat saja. Untuk kepentingan lawfirmnya saja. Pemerintah sebenarnya membutuhkan mereka (lawyer yang handal dalam bidang sengketa bisnis internasional).

(Baca juga: Pradnyawati: Tak Sampai 5 Lawfirm Jago Hukum Perdagangan Internasional)

Bagaimana dengan jasa hukum?
Jasa hukum itu physically attendance. Tidak harus hadir. Bisa pakai email, video conference. Di bidang jasa hukum dan medis sudah bisa seperti itu. Tidak harus secara fisik hadir. Sedangkan kita di MEA saja masih berat.

Indonesia kaya akan sumber daya alam. Apa kontribusi FH agar kekayaan itu bisa menopang Indonesia di dunia internasional?
Pressure kan sebenarnya bisa eksternal bisa internal. Eksternal misalnya masalah market. Di isu dagang itu kan ada juga politik dagang. Kadang di internal kita, ada juga rent seeker, mencari keuntungan dalam arti peluang dan sebagainya dari suatu sistem. Rentseeker itu selalu ada dalam setiap transaksi. Saya melihatnya persoalan state versus market ini kadangkala yang lemah justru state-nya. Karena market punya hukum sendiri. Pasar itu gak bisa dikendalikan oleh konstitusi. Misalnya, harga minya itu gak mungkin ditentukan secara rigid. Harga itu time to time berubah sesuai hukum supply and demand. Istilahnya, ekonomi itu punya hukumnya sendiri. Di negara maju, statenya masih kuat ketika berhadapan dengan market. Di Belanda waktu S2 dulu saya lihat Pemerintah sangat eksis, dan direspek oleh semua stakeholders yang ada. Kalau kita kan tergantung para pedagang, para spekulan, calo, penimbun dan sebagainya. Mana ada yang normal mulai dari daging sampai beras dan cabe. Garam juga. Politik pangannya kan gak jelas. Kita ekonominya kan multidimensi. Lalu bagaimana?

Anda menyinggung peran PH. Bagaimana dengan pendidikan hukum klinis?
Itu baru dua minggu yang lalu kalau tak salah. Di web UI juga ada. Contract drafting juga mungkin harus diperdalam. Sampai ke tingkat simulasi. Kalau tidak ada simulasi, terkesan mempelajari secara teori saja. Hanya prinsip-prinsip dan asas-asas kontrak. Kalau kita case building membuat suatu kasus, bikin argue dan buat kontraknya, skenariokan sengketa, ada yang menjadi penggugat ada yang tergugat. Setelah itu keluarlah skill. Lebih bagus lagi dibingkai kasusnya dalam sengketa bisnis internasional.

Apa poin-poin masukan Anda terkait revisi UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?
Menurut saya yang krusial adalah executorial powernya. KPPU ini kan diposisikan sebagai state auxiliary organ. Bukan lembaga negara pure, melainkan lembaga yang membantu negara. KPPU tidak mempunyai kekuatan pro justisia karena dia juga akan dibawa ke pengadilan. Dia bisa di-challange sebagai tergugat. Di PTUN-kan pun ada kemungkinan jika putusannya dianggap sebagai KTUN. Dia tidak sekuat organ yang lain seperti KPK. Orang juga mulai kurang respek pada KPPU karena tidak se-powerful KPK. Kemudian, mengurusi persoalan ekonomi kan tidak semudah mengurusi ranah hukum publik seperti korupsi. Karena ini kan masalah pasar. Sejak ada KPPU, yang banyak kan kasus bidding, pengadaan barang dan jasa. Masalah fixed pricing dan monopoli masih jarang. Ambil contoh empiric toko modern. Itu ada persaingan atau seolah-olah bersaingan di dalamnya kita tidak tahu. Harusnya KPPU karena itu menyangkut market, pasar.

Belum lagi bidding dari luar. Misalnya sekarang international bidding. Siapa yang bisa mengawasi? (Cerita pernah seleksi di KPPU dan KPK. Prosesnya politis).

Sekarang proses bidding diawasi KPK, KPPU, dan sudah ada LKPP. Apakah Anda melihat pengadaan barang/jasa di kita sudah baik?
Saya kadang bingung negara ini, banyak lembaga yang mengatur. Semua dibuat, tapi tingkat koordinasi dan integritas melakukan suatu rangkaian kerjasama itu minim. Artinya, egosektoral itu tetap ada. Sebenarnya yang kita perlu mensinergikan lembaga-lembaga itu. Ambil contoh di China, penegak hukum tak banyak kelihatan di jalan tapi warga tertib. Hukum tegak. Tapi kalau di kita, banyak sekali penegak hukum di sana sini tapi penegakan hukum tidak tegak. Ini juga sama. Lembaga terus ditambah, ditambah. Tapi tidak ada sinergi antar lembaga. Dan satu objek ditackle oleh 3-4 institusi. LKPP misalnya, pelatihan untuk dapatkan sertifikat. Yang dapat sertifikat masuk penjara juga. Orang basicnya apa-apa dapat sertifikat setelah pelatihan. Tidak ada jaminan kalau orangnya sudah dapat sertidikat pengadaan barang dan jasa lantas tidak ada masalah. LKPP seharusnya memback up agar pengadaan barang dan jasa di Indonesia menjadi baik. Menjadi tidak menyeleweng dan sebagainya.

Apa yang mendorong Anda menggeluti hukum internasional?
Dulu waktu S2 saya kan ambil hukum bisnis internasional di Groningen. Di S2 UI juga saya ambil hukum perdagangan internasional. Sama Pak Syamsul Maarif dulu. Saya membahas government procurement dari tata negara dan bisnis. Itu kan agenda perdagangan internasional juga. Itu yang tidak termasuk diliberalisasi. Kita belum menjadi bagian rezim perdagangan internasional yang membuka pengadaan barang dan jasa. Kalau sudah dibuka, habis kita semua. Sana bisa masuk sini, sini bisa masuk sana. Cuma sana bisa masuk, yang sini gak bisa ke sana. Pelaku usaha kita mana bisa bidding di Amerika di Jepang. Di sini kekuatannya rupiah di sana dolar. Dari sisi permodalan sudah tidak mungkin. Belum SDM dan lain-lain.
Tags:

Berita Terkait