Advokat Ini Rekomendasikan 3 Hal Untuk Revisi Klaster Ketenagakerjaan
Terbaru

Advokat Ini Rekomendasikan 3 Hal Untuk Revisi Klaster Ketenagakerjaan

Meliputi pengaturan tenaga kerja asing (TKA); sanksi bagi perusahaan alih daya atau outsourcing; dan penyelesaian sengketa program JKP.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Founder Tjakra Law, Erri Tjakradirana, dalam diskusi bertema Implementasi UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan Pasca Putusan MK: Tenaga Kerja Asing, Alih Daya, Waktu Kerja, Pengupahan, Perjanjian Kerja dan PHK, Jumat (11/03/2022). Foto: ADY
Founder Tjakra Law, Erri Tjakradirana, dalam diskusi bertema Implementasi UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan Pasca Putusan MK: Tenaga Kerja Asing, Alih Daya, Waktu Kerja, Pengupahan, Perjanjian Kerja dan PHK, Jumat (11/03/2022). Foto: ADY

Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menyatakan antara lain UU No.11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat. Pemerintah dan DPR diperintahkan untuk membenahi beleid itu dalam jangka waktu 2 tahun.

Jika batas waktu itu lewat, UU No.11 Tahun 2020 statusnya inkonstitusional permanen. Begitu penjelasan Founder Tjakra Law, Erri Tjakradirana, dalam diskusi bertema Implementasi UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan Pasca Putusan MK: Tenaga Kerja Asing, Alih Daya, Waktu Kerja, Pengupahan, Perjanjian Kerja dan PHK, Jumat (11/03/2022).

Guna membantu pemerintah merevisi UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan turunannya, Erri merekomendasikan sedikitnya 3 hal untuk klaster ketenagakerjaan. Pertama, pengaturan mengenai TKA. UU No.11 Tahun 2020 mengubah sebagian ketentuan TKA yang diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Beberapa hal yang diubah misalnya izin mempekerjakan TKA (IMTA) menjadi rencana penggunaan TKA (RPTKA). Ada perluasan jabatan yang tidak memerlukan RPTKA dari sebelumnya hanya pegawai diplomatik, sekarang meliputi direksi, komisaris, teknologi startup, dan pekerjaan darurat. “Bahkan untuk kegiatan penelitian RPTKA tidak diperlukan untuk jangka waktu tertentu,” katanya.

Baca juga:

Larangan TKA menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan tertentu sebagaimana diatur pasal 46 UU No.13 Tahun 2003 dihapus dan dimasukan dalam pasal 42 UU No.11 Tahun 2020. Kendati pasal 46 sudah dihapus, tapi peraturan turunannya yakni Kepmenaker No.349 Tahun 2019 tentang Jabatan Tertentu yang Dilarang Diduduki oleh TKA belum dicabut sehingga tidak jelas statusnya. “Ini salah satu rekomendasi kami peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2020 harus diharmonisasi lagi,” usulnya.

Kedua, UU No.11 Tahun 2020 mengubah ketentuan terkait alih daya atau outsourcing. Antara lain menghapus aturan outsourcing yang diatur dalam pasal 64 dan 65 UU No.13 Tahun 2003. UU No.11 Tahun 2020 hanya menyisakan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 terkait pengaturan outsourcing dan tidak lagi membedakan penyedia jasa pekerja dan pemborongan pekerjaan.

PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PKWT-PHK) mewajibkan perusahaan alih daya atau outsourcing berbentuk badan hukum. Serta memenuhi perizinan berusaha yang diterbitkan pemerintah pusat. Tapi peraturan turunan UU No.11 Tahun 2020 itu luput mengatur sanksi jika ketentuan itu tidak dipenuhi. “Padahal UU No.11 Tahun 2020 memandatkan sanksinya berupa administratif,” ujarnya.

Ketiga, UU No.11 Tahun 2020 memandatkan program jaminan sosial baru untuk pekerja/buruh yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Program ini berlaku bagi pekerja/buruh yang didaftarkan perusahaannya. Manfaatnya berupa uang tunai maksimal 6 bulan. Manfaat diberikan kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) kecuali mengundurkan diri, cacat total tetap, pensiun dan lainnya.

Tapi mekanisme penyelesaian sengketa yang terjadi terkait program JKP melalui pengadilan negeri (perdata). Erri mengusulkan PP No.37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program JKP harusnya mengatur mekanisme penyelesaian itu melalui pengadilan hubungan industrial (PHI). “Ini kan terkait hak normatif pekerja/buruh harusnya diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, bukan perdata,” usulnya.

Tags:

Berita Terkait