Agar 'Minyak' Pesawat Tidak Dimonopoli Satu Pihak
Berita

Agar 'Minyak' Pesawat Tidak Dimonopoli Satu Pihak

KPPU mendesak pemerintah agar pengelolaan avtur di seluruh bandara dilakukan melalui pasar terbuka. Selama ini pengelolaan bahan bakar pesawat itu dimonopoli oleh Pertamina.

Oleh:
M-4
Bacaan 2 Menit
Agar 'Minyak' Pesawat Tidak Dimonopoli Satu Pihak
Hukumonline

Mohammad Iqbal, Komisioner KPPU lainnya menekankan, open access bukan mustahil untuk dilaksanakan. "Sebenarnya bisa difasilitasi oleh regulasi," ujarnya. Misalnya dengan kewajiban pasokan dalam negeri (domestic market obligation -DMO). DMO diperlukan lantaran pemerintah selama ini tidak pernah memikirkan bagaimana menjaga energi primer di Indonesia.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) selangkah lebih maju. Mereka sedang menyusun draf peraturan yang terkait dengan open access avtur. Kini masih dalam proses sosialisasi ke sejumlah instansi terkait, termasuk KPPU. "Kemarin hearing atas draf ini sudah berjalan," ujar Wakil Ketua KPPU Tresna P Soemardi. Aturan umum mengenai open access avtur ini sebenarnya sudah dicantumkan BPH Migas dalam Pasal 7 dan 8 Peraturan No.13/P/BPHMIGAS/IV/2008 tentang Pengaturan dan Pengawasan Atas Pelaksanaan Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak Penerbangan Di Bandar Udara.

Tresna menegaskan open access avtur layak dilakukan. Alasannya, avtur merupakan komoditas vital pada industri penerbangan komersial. "Semua komoditas komersial sebaiknya terbuka untuk persaingan usaha yang sehat," tuturnya. Jika pasarnya sudah dibuka, maka kata dia, konsumen akan mempunyai opsi alternatif atas harga dan pelayanan dari berbagai operator bila open access dilaksanakan. Di sektor migas khususnya avtur, KPPU juga belum melihat adanya harmonisasi kebijakan yang diambil oleh berbagai instansi terkait, terutama mengenai kewenangan, tugas dan tanggung jawab.

Mekanisme penentuan harga minyak sendiri sebenarnya tidak lepas dari peran Mahkamah Konstitusi (MK). Dipenghujung 2004, MK mencabut Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Menurut MK, "Campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak." MK menilai, pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga BBM, termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar. Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) di mata MK "lebih mengutamakan mekanisme persaingan, baru kemudian campur tangan pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu." Aturan ini dipandang MK "tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi" sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.

Bantah monopoli

Pada saat yang sama, Pertamina menolak tudingan sebagai pemegang monopoli dalam pasar avtur. "Sebenarnya kita sudah kerjasama dengan Shell (perusahaan minyak asal Belanda)," kilah Senior Vice President Pemasaran Pertamina Hanung Budya. Menurutnya, salah satu realisasi kerjasama ini adalah dapat diaksesnya avtur dari Shell di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta, oleh konsumen avtur. Hanung menegaskan Pertamina siap untuk berkompetisi di pasar avtur.

Mengenai fasilitas tetap (fixed facilities) yang diberikan kepada Pertamina oleh sejumlah operator bandara, Hanung mengatakan hal itu berada di bawah kewenangan otoritas bandara. Pertamina, menurutnya, tidak mencampuradukkan masalah itu dalam perjanjian kerjasamanya dengan operator lain. "Karena yang dilarang adalah menguasai bersama-sama fasilitas distribusi," tandas Hanung.

Yang jelas, pasar avtur di Indonesia bisa dibilang belum dilirik oleh investor asing. Buktinya baru Shell yang masuk. Entah lantaran kebijakan yang belum kondusif atau memang pasar avtur di Negeri ini tergolong sepi. Mohd Ibrahim Mohd Yunus dari Petronas misalnya, masih pikir-pikir untuk investasi avtur di Indonesia. "Kami akan study dulu," katanya kepada hukumonline. Yunus menambahkan, Petronas masih ingin mengamati bagaimana persaingan usaha avtur di Indonesia sebelum memutuskan masuk.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kembali menyorot ketebukaan pasar (open access) pengadaan bahan bakar avtur di sejumlah bandar udara (bandara) di Indonesia. Sebelumnya, lembaga anti monopoli ini pernah melakukan monitoring pada fasilitas penyimpanan (storage) avtur milik PT Pertamina (Persero) di Bandara Djuanda, Surabaya. Bandara tersebut memang menjadi proyek percontohan open access avtur di Indonesia. Meski tender pernah dilaksanakan, namun hingga kini tidak jelas siapa pemenang tender pengelolaan avtur di bandara kelolaan PT Angkasa Pura I itu.

KPPU sendiri sebenarnya sejak lama sudah meminta pemerintah agar dilakukan open access terhadap fasilitas storage tersebut. Tujuannya supaya operator lain bisa masuk menjual avtur. Masalahnya, banyak pihak yang mempunyai kepentingan atas fasilitas tersebut. "Seperti dari Angkasa Pura," ungkap Komisioner KPPU Dedie S Martadisastra dalam sebuah seminar bertajuk "Evaluasi Implementasi Kebijakan Sektor Hilir Migas" di Hotel Borobudur Jakarta, Selasa (1/7). Kepentingan-kepentingan inilah yang memungkinkan Pertamina melakukan monopoli terhadap avtur.

Pengamat persaingan usaha Soy Martua Pardede mengatakan, UU Anti Monopoli (UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat) sudah cukup untuk meneliti apakah Pertamina melakukan persaingan usaha tidak sehat atau tidak. Parameternya, kata dia, bisa dilihat dari sisi perizinan maupun ada tidaknya perjanjian tertutup, posisi dominan, serta diskriminasi harga. "Posisi dominan rentan terjadi karena kedekatan Pertamina dengan pemerintah," ujar mantan Komisioner KPPU ini.

Tags: