Dalam persidangan lanjutan uji materi ini, pensiunan Guru Besar FISIP UI, Safri Nurmantu menilai ketentuan pidana yang melarang menerima gaji/honorarium bertentangan dengan konstitusi. Sebab, ketentuan itu tidak melanggar asas persamaan di hadapan hukum, cenderung diskriminatif, dan melanggar prinsip keadilan yang dijamin Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Menurut Safri, jika untuk yayasan pendidikan, larangan itu tidak tepat dan bertentangan dengan konstitusi. Pendiri dan pembina yayasan pendidikan biasanya dosen dan guru. Tidak adil kalau mereka tidak mendapat honorarium. “Ini juga terjadi pada saya sebagai pendiri yayasan yang bergerak di bidang pendidikan karena saya dosen,” ujar Safri dalam sidang pleno di gedung MK Jakarta, Senin (16/3).
Pasal 5 ayat (1) UU Yayasan menyebutkan, “Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-Undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas.”
Ayat-(2)-nya menyebutkan, “Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan : a. Bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas. b. Melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.” Pasal 70-nya, menyebutkan pelanggaran terhadap Pasal 5 tersebut dapat dipidana dengan paling lama 5 tahun penjara.
Dalam persidangan sebelumnya, Dahlan Pido yang menjadi pembina yayasan pendidikan ini menganggap ketentuan yang melarang pembina dan pengawas yayasan menerima upah norma yang diskriminatif, melanggar prinsip keadilan, dan persamaan di hadapan hukum. Sementara pengurus lainnya berhak menerima upah/honorium.
Padahal, menurut pemohon pengurus yayasan tidak dapat bekerja sendiri tanpa dibantu oleh organ lain, seperti Pembina dan Pengurus dan secara pekerjaan sama-sama melakukan aktivitas rutin. Karena itu, dia meminta MK menghapus kedua pasal itu.
Safri melanjutkan pihaknya mendukung uji materi pemohon yang telah dirugikan dengan berlakunya kedua pasal itu. Sebab, kata dia, pasal yang melarang pembina dan pengawas yayasan menerima gaji, upah, atau honorarium jelas-jelas mengandung ketidakadilan dan diskriminasi jika dibandingkan dengan pengurus yayasan lain. Terlebih, apabila pembina tetap menerima gaji akan dikenakan sanksi pidana.
“UUD 1945 kan telah menjamin hak setiap orang untuk bekerja dan mendapatkan imbalan dan perlakuan adil. Makanya, saya berharap MK bisa meninjau ulang berlakunya kedua pasal itu,” harapnya.