Ahli: Negara Harus Atur Layanan Konten Penyiaran Berbasis Internet
Berita

Ahli: Negara Harus Atur Layanan Konten Penyiaran Berbasis Internet

Menurut ahli, UU Penyiaran sudah memadai hanya tinggal diberikan pasal-pasal untuk menyesuaikan dengan kemajuan teknologi.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit

Menjawab pertanyaan perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika mengenai keberadaan UU ITE sebagai instrumen hukum layanan OTT, Iswandi menjawab bahwa UU ITE tidak mengatur pihak yang mengawasi adanya konten OTT. “Menurut saya, UU Penyiaran sudah memadai hanya tinggal diberikan pasal-pasal untuk menyesuaikan dengan kemajuan teknologi,” ujarnya.

Pengaturan OTT belum jelas

Pentingnya negara menyusun instrumen hukum untuk layanan OTT juga diungkapkan Ahli Hukum dan Legislasi Teknologi Informasi, Danrivanto Budhijanto. Menurutnya, Indonesia merupakan pangsa pasar yang besar bagi layanan OTT global.

“Dalam satu menit menurut data Statista, saat pandemi Covid-19 secara luar biasa masyarakat menggunakan koneksi untuk film, foto, serta untuk berkomunikasi, baik dalam bentuk-bentuk digital maupun dengan menggunakan pendekatan platform OTT. Indonesia di Asia Tenggara merupakan negara dengan jumlah pengguna internet paling tinggi. Karena selain memiliki pulau-pulau yang sangat luas, Indonesia memiliki jumlah penduduk terbanyak di Asia Tenggara, sehingga infrastruktur internet merupakan suatu keniscayaan,” ujar Danrivanto.

Akibat serbuan layanan OTT tanpa pengaturan hukum yang jelas, Danrivanto menjelaskan adanya pertumbuhan minus yang dialami dunia pertelevisian Indonesia. Ia membandingkan sejumlah negara yang jauh lebih dahulu mengakomodasi secara hukum serbuan layanan OTT. Ia menyebut Amerika, China, India, Uni Eropa telah memiliki pengaturan terlebih dahulu yang disebut dengan internet broadcasting, termasuk internet tv, digital streaming. Sementara di Indonesia, perlu ada bentuk hukum yang progresif terkait teknologi.

“Menggunakan pemahaman hukum teknologi dan legislasi teknologi adalah apa yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo yaitu hukum bukan merupakan syarat mutlak karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Artinya, legislasi teknologi di seluruh dunia sedang berusaha merespon kemajuan teknologi. Akhirnya nantinya kita memiliki peraturan perundang-undangan yang memiliki pendekatan kedaulatan virtual.”

Seperti diketahui, para Pemohon No. 39/PUU-XVIII/2020 ini adalah PT Visi Citra Mitra Mulia (INews TV) yang diwakili oleh David Fernando Audy selaku Direktur Utama dan Rafael Utomo selaku Direktur (Pemohon I) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang diwakili oleh Jarod Suwahjo dan Dini Aryanti Putri selaku Direktur (Pemohon II). Tim kuasa hukum Pemohon terdiri atas Taufik Akbar dkk. 

Para Pemohon melakukan pengujian materiil Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran, Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”. 

Para Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon karena menyebabkan adanya pelakuan yang berbeda (unequal treatment) sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran.

Menurut para Pemohon, tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran itu, menyebabkan sampai saat ini penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti Layanan OTT tidak terikat dengan UU Penyiaran. Padahal UU a quo merupakan rule of the game penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Hal ini berimplikasi pada adanya berbagai macam pembedaan perlakuan.

Tags:

Berita Terkait