Ahli: Pengunduran Diri Anggota Legislatif Ikut Pilkada Tak Halangi Hak Dipilih
Utama

Ahli: Pengunduran Diri Anggota Legislatif Ikut Pilkada Tak Halangi Hak Dipilih

Ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada haruslah dimaknai sebagai konstruksi hukum untuk mewujudkan demokrasi yang menjamin kesetaraan politik sebagaimana pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Suasana di depan gedung MK saat sengketa pilkada. Foto: RES
Suasana di depan gedung MK saat sengketa pilkada. Foto: RES

Pengaturan kewajiban mengundurkan diri bagi angggota DPR, DPD, dan DPRD jika hendak mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat 2 huruf s UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) tidak menghalangi hak seseorang untuk dipilih.

Pandangan ini disampaikan Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril sebagai ahli di sidang uji materi UU Pilkada yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (14/9/2020) sebagaimana dikutip laman MK. Sidang perkara Nomor 22/PUU-XVIII/2020 ini digelar dengan kehadiran para pihak secara virtual sehubungan pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan kembali di DKI Jakarta per 14 September 2020.

Ahli yang sengaja dihadirkan oleh Perludem sebagai Pihak Terkait ini menilai ketentuan kewajiban mengundurkan diri bagi anggota legislatif jika ingin menjadi peserta pilkada, lahir karena adanya Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 mengenai kewajiban mundur bagi anggota DPR, DPD, DPRD dan kepala daerah yang masih menjabat. Hal tersebut sama sekali tidak menghalangi hak seseorang untuk mencalonkan diri.

“Putusan inilah yang sebenarnya menjadi dasar para pembentuk undang-undang merumuskan ketentuan Pasal 7 ayat 2 huruf s UU 10/2016. Ketentuan ini sebenarnya tidak menghilangkan hak seseorang untuk turut serta dalam pemerintahan. Jadi, kalau kita lihat ketentuan Pasal 7 ayat 2 huruf s itu tidak menghalangi seseorang untuk mencalonkan diri karena pada dasarnya siapapun bisa mencalonkan diri,” ujar Oce melalui aplikasi Zoom.

Dalam keterangannya, Oce melanjutkan dalam sistem pemerintahan terdapat dua konsep pemberhentian dalam jabatan yakni pemberhentian atas kehendak diri sendiri dan pemberhentian yang diperintahkan peraturan perundang-undangan. Menurutnya, Pasal 7 ayat 2 huruf s UU Pilkada terkait dengan dua model pemberhentian jabatan tersebut.

“Kalau kita lihat ketentuan itu, seorang anggota DPR/DPRD yang mencalonkan diri, mereka sebenarnya sudah menetapkan pilihan untuk mendaftarkan diri sebagai calon dalam pilkada, maka mereka mengundurkan diri secara sukarela. Jadi, ini adalah pilihan sadar sebetulnya, karena mekanisme ini sudah diketahui sejak awal,” jelas Oce. (Baca Juga: Ahli: Aturan Pengunduran Diri Anggota Legislatif Ikut Pilkada Diskriminatif)

Menurut Oce, konsep mengundurkan diri diatur oleh undang-undang berlaku bagi seorang pejabat publik seperti halnyaa kewajiban-kewajiban yang dimiliki anggota DPR, DPD, atau DPRD. Ia menyebut ketentuan a quo juga berlaku tidak hanya bagi anggota legislatif, melainkan juga bagi anggota TNI/Polri, PNS, pegawai BUMN/BUMD. Jika ketentuan tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945, justru menimbulkan diskriminatif.

Tags:

Berita Terkait