Ahli: Penyelenggaraan Internet Tidak Bisa Dipaksakan Masuk UU Penyiaran
Berita

Ahli: Penyelenggaraan Internet Tidak Bisa Dipaksakan Masuk UU Penyiaran

Oleh karena penyelenggaraan internet dan penyiaran berbeda, dalil para pemohon yang meminta agar Mahkamah menambahkan frasa “penyelenggara internet” dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tidak seharusnya dikabulkan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit

Pada UU No. 36 Tahun 1999, filosofi itu tetap melandasi lahirnya UU tersebut. Namun dalam rangka perkembangan telekomunikasi, UU No. 36/1999 membagi penyelenggaraan komunikasi menjadi tiga yaitu penyelenggaraan jaringan telekomunikasi. penyelenggaraan jasa telekomunikasi, penyelenggaraan telekomunikasi khusus. 

Dalam Pasal 9 UU No. 36/1999, penyiaran dimasukkan dalam kategori penyelenggara telekomunikasi khusus yang terdiri dari tiga kegiatan yaitu untuk keperluan sendiri, untuk keperluan pertahanan keamanan negara, untuk keperluan penyiaran. Dalam Peraturan Pemerintah No. 52/2000 disebutkan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran wajib membangun sendiri jaringan sebagai sarana pemancaran dan sarana transmisi untuk keperluan penyiaran. Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 53/2000 mengatur izin spektrum frekuensi radio bagi kegiatan penyiaran. 

Dengan demikian, sambung Adrian, penyiaran itu sebenarnya dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang merupakan wakil dari masyarakat. Intinya dalam UU No. 32 Tahun 2002 seharusnya masyarakat yang menyelenggarakan kegiatan penyiaran. Hal ini sudah dilakukan uji materiil ke MK, yang putusannya menyatakan adanya pembagian kewenangan. 

“Masalah lain saat pembentukan UU No. 32/2002 adalah masalah konglomerasi. Upaya konglomerasi harus dicegah, supaya isi siaran yang sampai ke masyarakat tidak dipengaruhi oleh pemerintah maupun para pemilik modal,” tambahnya.    

Seperti diketahui, para Pemohon No. 39/PUU-XVIII/2020 ini adalah PT Visi Citra Mitra Mulia (INews TV) yang diwakili oleh David Fernando Audy selaku Direktur Utama dan Rafael Utomo selaku Direktur (Pemohon I) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang diwakili oleh Jarod Suwahjo dan Dini Aryanti Putri selaku Direktur (Pemohon II). Tim kuasa hukum Pemohon terdiri atas Taufik Akbar dkk. 

Para Pemohon melakukan pengujian materiil Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran, Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”. 

Para Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional karena menyebabkan adanya pelakuan yang berbeda (unequal treatment) sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet, seperti layanan Over The Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran.

Menurut para pemohon, tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran itu, menyebabkan sampai saat ini penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti Layanan OTT tidak terikat dengan UU Penyiaran. Padahal UU a quo merupakan rule of the game penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Hal ini berimplikasi pada adanya berbagai macam pembedaan perlakuan.

Tags:

Berita Terkait