Ahli Ini Minta Presiden Jelaskan Alasan Tak Tandatangani Revisi UU KPK
Utama

Ahli Ini Minta Presiden Jelaskan Alasan Tak Tandatangani Revisi UU KPK

Proses pembahasan dan pengesahan revisi UU KPK dinilai melanggar konstitusi dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga diminta untuk dibatalkan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Sidang uji materi sejumlah pasal dalam UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) masih terus bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang kali ini mendengarkan ahli dari pemohon yakni ahli hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar dan Bivitri Susanti.   

 

Dalam inti keterangannya, para ahli menerangkan mulai dari proses pembentukan revisi UU KPK yang tidak melibatkan masyarakat dan KPK; tidak kuorumnya pengesahan revisi UU KPK di rapat paripurna DPR; Presiden Jokowi tidak menandatangani revisi UU KPK, hingga adanya “dua matahari” dalam tubuh KPK yakni Dewan Pengawas dan Pimpinan KPK.

 

Mengawali paparannya, Zainal Arifin melontarkan pertanyaan retoris, tentang perlunya ditelusuri apakah revisi UU KPK itu keinginan presiden dan DPR atau ada desakan masyarakat? "Saya ingin mengingatkan kembali, ada pertanyaan menarik, apakah revisi UU KPK ini sebenarnya keinginan pemerintah dan DPR semata, atau jamak seluruh rakyat Indonesia?" kata Zainal di ruang sidang MK, Rabu (19/2/2020). Baca Juga: Berharap MK Progresif Putuskan Uji Materi Perubahan UU KPK

 

Zainal menegaskan revisi UU KPK cacat formil karena masyarakat tidak dilibatkan sejak dalam awal proses penyusunan revisi UU KPK. Sebab, partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan kebijakan sudah diatur dan diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 1945.   

 

Baginya, seharusnya pembentuk UU (pemerintah dan DPR, red) tidak hanya memperhatikan kewenangan yang dimilikinya, tetapi juga memperhatikan dan menimbang keinginan rakyat. Dia mengingatkan dalam proses pembentukan UU harus memenuhi mekanisme yang berlaku, tidak dilakukan secara sewenang-wenang.

 

“Hal ini tidak nampak dalam revisi UU KPK, yang dikhawatirkan ketika ada di kepala pembentuk UU, revisi UU KPK hanya domain pembentuk UU dan tidak ada kaitan dengan keinginan rakyat,” lanjutnya.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini menilai penyusunan revisi UU KPK juga mengandung kejanggalan, seperti saat pemerintah berdalih terjadi kesalahan pengetikan draf RUU termasuk mengenai syarat usia minimal pimpinan KPK. “Saya ingat betul pernyataan pertama pemerintah dan DPR, ada salah ketik di beberapa hal. Bahkan, yang pertama mengenai usia minimal pimpinan KPK itu salah ketik,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait