Ahli Nilai KPPU Jalankan Fungsi Administratif Sekaligus Yustisial
Berita

Ahli Nilai KPPU Jalankan Fungsi Administratif Sekaligus Yustisial

Menurut Chairul Huda, sesuatu yang aneh apabila UU Larangan Praktik Monopoli mengatur kewenangan penyelidikan tanpa ada pengaturan kewenangan penyidikan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES
Kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dipersoalkan lewat uji materi Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26 huruf c, d, h, i, Pasal 41 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 44 ayat (4), ayat (5) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pemohonnya, PT Bandung Raya Indah Lestari yang dirugikan akibat keputusan KPPU No. 12/KPPU-L/2015 yang membatalkan proses lelang badan usaha yang dimenangkannya secara jujur, fair, dan terbuka.

Pemohon menilai pasal-pasal tersebut tidak mengatur jelas dan tegas kedudukan KPPU, apakah sebagai lembaga administrasi yang berwenang memeriksa secara administratif atau lembaga penegak hukum yang berwenang melakukan penyelidikan. Misalnya, frasa “pihak lain” dalam Pasal 22, Pasal 23, Pasal 25 UU Larangan Praktik Monopoli multitafsir, sehingga membuka ruang lembaga tertentu bertindak sewenang-wenang. Bagi Pemohon, frasa “pihak lain” itu seharusnya dimaknai “pelaku usaha lain”.

Sementara, frasa “penyelidikan dan atau pemeriksaan” dalam Pasal 36 huruf c, d, h, i, dan Pasal 41 ayat (1), (2) dinilai tidak memberi kepastian hukum. Sebab, KPPU dan unit kerja di dalamnya mempunyai kewenangan penyelidikan (tindakan yustisial). Ketidakjelasan norma ini potensi memberi ruang KPPU sekaligus menjalankan fungsi penyelidikan, penuntutan, ajudikasi selain pemeriksaan administratif terhadap pelaku usaha, sehingga KPPU serta merta menjadikan hasil pemeriksaan administratif sebagai hasil penyelidikan. (Baca Juga: KADIN Minta KPPU Tinggalkan Perspektif ‘Menghukum’)

Permohonan ini sudah memasuki sidang pleno mendengarkan keterangan ahli atau saksi. Dalam sidang pleno yang diketuai Anwar Usman di Gedung MK, Rabu (30/11) kemarin, Pemohon menghadirkan ahli yakni Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran I Gde Pantja Astawa dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda.

Dalam keterangannya, I Gde Pantja Astawa mengatakan dalam perpektif hukum administrasi, KPPU adalah lembaga independen yang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, serta pihak lain apabila merujuk Pasal 30 ayat (2) UU Larangan Praktik Monopoli. Meski demikian, KPPU tetap bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden.

“Artinya, keberadaan KPPU tetap berada dalam ranah pemerintahan atau eksekutif. Namun dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya dijamin independensinya, dari pengaruh fungsi-fungsi pemerintahan sehari-hari,” kata dia dalam paparannya. 

Independensi dan kualitas KPPU, kata dia, dijamin undang-undang baik secara struktural maupun fungsional. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPPU tidak dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lain. KPPU juga tidak boleh diintervensi untuk kepentingan politik atau kepentingan bisnis pihak-pihak yang terkait. (Baca: 11 Catatan Kritis Pengusaha untuk Revisi UU Antimonopoli).  

Menurutnya, dari sisi fungsi KPPU adalah lembaga yang menjalankan fungsi administrative sekaligus fungsi yustisial. Fungsi administratif KPPU nampak pada Pasal 30 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 yang menyebut, “Untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini, dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi.”

“Nomenklatur KPPU adalah hukum administrasi karena berkenaan dengan instrumen penegakan hukum dalam hukum administrasi negara,” kata dia.

Sementara, Chairul Huda memandang wewenang penyelidikan KPPU dalam UU No. 5 Tahun 1999 itu justru sangat berbahaya karena memungkinkan sikap overreacting terhadap suatu peristiwa dan upaya-upaya paksa yang sifatnya eksesif. (Baca juga: Revisi UU Antimonopoli Akomodasi Konsep Justice Collaborator).

“Lebih bermasalah lagi kewenangan penyelidikan ini tidak bisa diuji keabsahannya karena yang bisa diuji keabsahannya adalah tindakan penyidik,” kata dia.

Menurutnya, sesuatu yang aneh apabila UU ini mengatur kewenangan penyelidikan tanpa ada pengaturan kewenangan penyidikan. Apabila memang ingin memberi kewenangan penegakan hukum dari sisi hukum pidana adalah kewenangan penyidikan, bukan kewenangan penyelidikan. “Penyelidikan dalam literatur disebut inquiry. Karena itu, seharusnya penyelidikan bagian yang tidak terpisahkan dari penyidikan,” katanya.   

Dalam sidang sebelumnya, Rabu (23/11) lalu, DPR menyampaikan penormaan frasa “pihak lain” dalam Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 hendak menjabarkan kegiatan persekongkolan, sehingga “pihak lain” perlu dimasukkan sebagai kebutuhan memperjelas persekongkolan dimaksud.

“Apabila frasa ‘pihak lain’ ini diganti frasa ‘pelaku usaha lain’ justru akan mempersempit makna dan tidak sesuai tujuan awal pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 ini,” ujar Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Azman Natawijana.

Menurutnya, kewenangan KPPU dalam melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan merupakan serangkaian kegiatan investigator KPPU guna mendapatkan bukti cukup sebagai kelengkapan dan kejelasan laporan klarifikasi, laporan hasil kajian/penelitian, pengawasan, dan atau pemeriksaan administratif, sehingga sanksi yang dijatuhkan pun sanksi administratif.    

Sementara, Ketua KPPU M. Syarkawi Rauf menegaskan frasa “pihak lain” berbeda dengan frasa “pelaku usaha lain”. Baginya, frasa “pihak lain” ingin mengakomodir tindakan anti persaingan usaha yang bersifat horizontal dan vertikal.

Tags:

Berita Terkait