Ahli Sebut Ada Pemborosan Anggaran dalam Prapenuntutan
Utama

Ahli Sebut Ada Pemborosan Anggaran dalam Prapenuntutan

Polri mempertanyakan dan meragukan validitas data yang dipaparkan pemohon dan ahli terkait penanganan perkara di Kepolisian.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Dosen Ilmu Hukum Universitas Indonesia Andri Gunawan Wibisana saat menyampaikan keahliannya dalam sidang perkara pengujian KUHAP, Rabu (27/4) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto: Humas MK
Dosen Ilmu Hukum Universitas Indonesia Andri Gunawan Wibisana saat menyampaikan keahliannya dalam sidang perkara pengujian KUHAP, Rabu (27/4) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto: Humas MK
Dosen Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia Muhammad Ramdan Andri Gunawan Wibisana menilai proses prapenuntutan tak hanya mengandung ketidakjelasan praktik penegakan hukum, tetapi berimbas pada pemborosan anggaran negara. Anggaran penanganan perkara pidana menjadi boros ketika  tindak lanjut penangannya tidak jelas. Sebab, setiap penanganan perkara pidana punya pagu anggaran.

“Faktanya, anggaran penanganan per perkara pidana yang dikeluarkan tidak sesuai dengan rasio jumlah penyelesaian perkara setiap tahunannya,” ungkap Andri saat memberi keterangan sebagai ahli di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (27/4).Sidang ini menguji aturan prapenuntutan dalam KUHAP.

Andri melanjutkan setiap penanganan perkara pidana dalam lingkungan Polri telah ditetapkan anggarannya yang rata-rata Rp12,710 juta. Anggaran penanganan per perkara di kepolisian didasarkan pada tingkat kesulitan penyelesaiannya. “Ada perkara kecil yang biaya penanganannya berkisar Rp6 jutaan, ada perkara menengah, dan besar hingga mencapai Rp40 jutaan,” kata Andri.

Dalam kesempatan ini, dia merilis data yang diperoleh dari Laporan Tahunan Kejaksaan dan Kepolisian. Pada 2012, total jumlah tindak pidana 340.669 perkara yang jika dikalikan Rp12,710 juta, maka total biaya penanganan perkara Rp4.329.902.990.000. Sedangkan total jumlah perkara yang telah berhasil diselesaikan alias P-21 (berkas perkara lengkap) hanya 102.082 perkara dengan biaya Rp1.297.462.220.000.

Dalam hitung-hitungan Andri ada selisih. “Ini artinya ada selisih sebesar Rp3.032.440.770.000 dari biaya perkara yang sudah dianggarkan,” bebernya.

Andri juga menjelaskan perkara yang terkatung-katung dalam proses prapenuntutan diduga sebanyak 14.442 perkara. Jika angka itu dikalikan Rp12,710 juta, maka berjumlah Rp183.557.820.000. “Ini artinya ada perkara yang ‘hilang’ (tidak jelas tindak lanjutnya) sebanyak 14.442 dengan total kerugian anggaran penanganan perkara Rp 183,557 miliar pada 2012,” ungkapnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu menegaskan jumlah penanganan perkara terkatung-katung periode 2012-2014 masing-masing 14.442 perkara, 18.777 perkara, 11.054 perkara. Rincian total biaya penanganan perkaranya yakni Rp183,557 miliar (2012), Rp238,665 miliar (2013), Rp140,496 miliar (2014). Dengan begitu, dia menyimpulkan ada potensi “kerugian negara” dalam anggaran biaya penanganan perkara sebesar Rp562,709 miliar dalam tiga tahun terakhir.

“Ini artinya dalam proses prapenuntutan mengakibatkan pemborosan anggaran yang tidak sedikit. Seharusnya, anggaran penanganan perkara bisa ditekan ketika proses penegakan hukumnya rendah (tingkat penyelesaian perkara rendah),” tegasnya.

Menurutnya, proses penegakan hukum membutuhkan kepastian hukum karena setiap proses penanganan sebuah perkara mesti jelas ujung pangkalnya. “Seharusnya kalau penegakan hukum rendah dengan biaya yang rendah pula. Tetapi, dari data itu menunjukkan penegakan hukum rendah dengan anggaran yang tinggi,” katanya.

Usai persidangan, Kadiv Bankum Mabes Polri, Kombes (Pol) Agung Makbul mempertanyakan dan meragukan validitas data yang dipaparkan pemohon dan ahli. Dari data perkara 2012, 14 ribuan perkara yang disebut terkatung-katung, hanya 803 perkara yang dinyatakan SP-3. “Mereka datanya ngambilnya darimana? Sebab, Kepolisian tidak pernah mengeluarkan data itu, data valid kan adanya di Kepolisian. Ini kan nggak fair,” ujar Agung membantah.

Agung juga membantah perkiraan angka biaya penanganan per perkara pidana di Kepolisian. Menurutnya, sesuai SK Kapolri, besaran biaya perkara dikelompokkan secara bertingkat tergantung bobot perkaranya. “Itu ada tingkatannya, kalau perkara rendah anggarannya Rp4,5 juta per perkara, perkara sedang anggarannya Rp9,5 juta, kalau perkara besar/berat Rp20 juta lebih. Seharusnya kalau ingin menyampaikan data harus valid dong,” katanya.

Kecurigaan atas ketidaklayakan penanganan perkara prapenuntutan di kepolisian juga pernah diungkapkan ahli lain, seperti Luhut MP Pangaribuan. Ada selisih jumlah perkara yang tercatat dan bukti SPDP yang dikirimkan ke penuntut umum.

Koordinator Masyarakat Pemantau Peradian Indonesia (MaPPI FHUI) Choky Ramadhan bersama aktivis lain Carlos Tuah Tennes, Usman Hamid, dan Andro Supriyanto mempersoalkan Pasal 14 huruf b dan huruf I, Pasal 109 ayat (1), dan Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 139 KUHAP terkait pemeriksaan berkas perkara dalam proses prapenuntutan.

Para pemohon berpendapat ketentuan prapenuntutan dalam KUHAP  semakin memperlemah peran penuntut umum sebagai pengendali perkara. Praktiknya, proses prapenuntutan sering menimbulkan kesewenang-wenangan penyidik dan berlarutnya penanganan perkara dalam proses prapenuntutan (bolak-balik berkas perkara).

Misalnya, Usman Hamid menjadi tersangka pencemaran nama baik sejak tahun 2005 hingga kini tidak jelas penanganan perkaranya. Ada pula Andro, seorang pengamen di Cipulir yang pernah menjadi korban penyiksaan dalam tahap penyidikan. Andro mencabut keterangan Berita Acara Penyidikan (BAP) yang mengaku pernah membunuh karena di bawah tekanan penyidik. Meski pengadilan tingkat pertama menghukum Andro, di tingkat banding dan kasasi Andro dibebaskan karena pengakuan tersangka terbukti diambil secara tidak sah.

Para pemohon meminta agar pasal-pasal itu ditafsirkan secara konstitusional bersyarat. Misalnya, Pasal 14 huruf b KUHAP khususnya frasa “apabila ada kekurangan” dihapus, sehingga apabila tidak ada kekurangan, jaksa tetap bisa melakukan pemeriksaan tambahan.

Selain itu, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) mempersoalkan Pasal 50 ayat (1), (2) KUHAP. Sebab, kata ‘segera’ dalam pasal itu tidak memberikan jangka waktu yang pasti terkait pemeriksaan tersangka. Praktiknya, banyak orang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka, tetapi tidak juga dilakukan proses penuntutan dengan melimpahkannya ke pengadilan dengan alasan masih melengkapi berkas penyidikan.

Menurut FKHK, tidak adanya batasan waktu ini tentu seseorang bisa menjadi tersangka selamanya. Tentu hal tersebut justru bertentangan dengan hak tersangka untuk mendapatkan proses hukum yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan.  Makanya, FKHK meminta kata “segera” dalam Pasal 50 ayat (1), (2) KUHAP dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945.

Kepolisian dan Kejaksaan sudah menjawab permohonan itu, dan menganggap apa yang dimohonkan tidak diskriminatif. Gagasan pemohon seharusnya dimasukkan saja ke dalam revisi KUHAP.
Tags:

Berita Terkait