Ahli Tegaskan Penyediaan Air Tanggung Jawab Negara
Berita

Ahli Tegaskan Penyediaan Air Tanggung Jawab Negara

Privatisasi pengelolaan air akan membuka peluang diskriminasi akses kebutuhan atas air.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ahli Tegaskan Penyediaan Air Tanggung Jawab Negara
Hukumonline
Ketentuan Pasal 4 ayat (4)  UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) yang mengatur keterlibatan koperasi, badan usaha milik swasta, atau kelompok masyarakat dinilai mengandung norma yang tak sejalan dengan Pasal 27 dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Penilaian itu disampaikan Aidul Fitriciada Azhari saat tampil sebagai ahli dalam sidang pengujuan UU SDA di Mahkamah Konstitusi, Rabu (15/1). Permohonan judicial review itu diajukan Muhammadiyah dan kawan-kawan. “Norma yang melibatkan korporasi atau lembaga selain BUMN atau BUMD mengindikasikan paradigma sumber daya air semata-mata sebagai komoditas ekonomi yang dapat dialihkan pengelolaannya kepada pihak swasta yang lebih berorientasi pada keuntungan ekonomi (profit-oriented),” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta ini.

Aidul menegaskan air minum merupakan kebutuhan paling mendasar bagian hak atas air yang harus dijamin negara.Penyediaan atas air minum bukan semata-mata berkenaan dengan tujuan kemakmuran dalam pengertian ekonomi, tetapi berkenaan dengan kondisi mendasar yang menentukan martabat kemanusiaan, hak hidup, dan kualitas kesehatan.

“Penyediaan air minum harus menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah dan pemerintah daerah sebagai bagian dari pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusiauntuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” ujar ahli yang sengaja dihadirkan pemohon ini.

Tujuan itu diperjelasPasal 40 ayat (2) dan (3) UU SDA yang menyebut pengembangan sistem penyediaan air minum menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah, yang penyelenggaraanya dilaksanakan oleh BUMN dan/atau BUMD. Tujuannya jelas mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dan menjamin penghidupan yang layak bagi kemanusiaansesuai amanat Pasal 27 dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Menurut dia, bentuk privatisasi terhadap hak atas air ini apa dan bagaimanapunbentuknya akan membuka peluang terjadinya diskriminasi, membedakan kemampuan mengakses kebutuhan atas air. Privatisasi akan mendorong sebagian orang dapat memperoleh air minum yang berkualitas, sementara sebagian besar lainnya kesulitan untuk mengakses dan menjangkaunya secara layak.

Padahal, lanjut dia,sebagai bagian dari hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya pemerintah harus melakukan campur tangan secara efektif memastikan penyediaan air minum dapat diakses dan dijangkau oleh rakyat tanpa mengalami perlakuan diskriminasi atas dasar apapun.

Secara historis maksud asli (original intent) para pendiri negara saat membentuk norma Pasal 33 UUD 1945 untuk mengubah dan menghapuskan sistem ekonomi liberal warisan kolonial Hindia Belanda. Lalu,membentuk sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial. Dalam liberalisme kapitalisme, ada peran dominan swasta atau partikulir dalam pengelolaan sumber daya alam, dan negara hanya menjadi alat pelindung modal swasta.

“Memberi peran pihak swasta dalam pengelolaan sumber daya air, khususnya penyediaan air minum, seperti memutar ‘jarum jam’sejarah yang mengembalikan sistem ekonomi nasional kepada sistem kolonial yang berwatak liberal”.

Permohonan pengujian sekitar 18 pasal dalam UU SDA ini diajukan oleh PP Muhammadiyah, kelompok masyarakat, dan sejumlah tokoh diantaranya Amidhan, Marwan Batubara, Adhyaksa Dault, Laode Ida, M. Hatta Taliwang, Rachmawati Soekarnoputri, dan Fahmi Idris. Penerapan pasal-pasal itu dinilai membuka peluang privatisasi dan komersialisasi pihak swasta atas pengelolaan SDA yang merugikan masyarakat sebagai pengguna air.

Meski mengakui keterlibatan swasta dijamin dalam UU SDA dan putusan MK No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan No. 008/PUU-III/2005 yang mengakui peran swasta dan telah mewajibkan pemerintah memenuhi hak atas air sebagai kebutuhan pokok, di luar hak guna air.

Namun, penafsiran MK itu telah diselewengkan secara normatif yang berdampak teknis pelaksanaannya. Buktinya, dapat dilihat Pasal 1 angka 9 PP No. 16 Tahun 2005  tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang menyebut penyelenggara pengembangan SPAM adalah BUMN/BUMN, koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat.

Padahal, Pasal 40 ayat (2) UU SDA sudah dinyatakan pengembangan SPAM tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah. Ini artinya, PP No. 16 Tahun 2005 merupakan swastanisasi terselubung dan pengingkaran tafsir konstitusional MK. Kondisi ini telah melahirkan mindset (pola pikir) pengelola air yang selalu profit oriented dengan keuntungan maksimum bagi pemegang sahamnya. Hal ini jelas pasal-pasal privatisasi itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, sehingga harus dinyatakan dibatalkan.
Tags:

Berita Terkait