Ahmad Basarah: Revisi PP 57/2021 Solusi Kembalikan Pancasila dalam Pendidikan Nasional
Pojok MPR-RI

Ahmad Basarah: Revisi PP 57/2021 Solusi Kembalikan Pancasila dalam Pendidikan Nasional

Perubahan yang dimaksudkan adalah memasukkan Pancasila dan bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran wajib di sekolah maupun mata kuliah wajib di perguruan tinggi.

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua MPR RI sekaligus Anggota Komisi X DPR RI, Dr. Ahmad Basarah. Foto: istimewa.
Wakil Ketua MPR RI sekaligus Anggota Komisi X DPR RI, Dr. Ahmad Basarah. Foto: istimewa.

Diundangkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan yang telah menghapus Pancasila sebagai Pelajaran atau mata kuliah Wajib merupakan peristiwa yang seharusnya tidak perlu terjadi dan dapat dicegah. Dikatakan dapat dicegah, sebab sejak awal pemerintah negara RI di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah memberikan perhatian besar terhadap upaya untuk menjadikan Pancasila sebagai arus utama dalam pengelolaan negara. Sayangnya, tidak semua aparatur negara di internal pemerintahan memiliki kapasitas dan kesungguhan untuk dapat menerjemahkan kehendak Presiden secara baik dan benar.

 

Dalam keterangan tertulis yang dibuat di Jakarta (15/4), Wakil Ketua MPR RI sekaligus Anggota Komisi X DPR RI, Dr. Ahmad Basarah mengatakan, aparatur negara yang terlibat dalam penyusunan kebijakan maupun regulasi bidang pendidikan terkesan masih belum memiliki pandangan yang sama tentang arti penting Pancasila sebagai dasar maupun ideologi negara untuk diajarkan kepada generasi penerus bangsa.

 

“Padahal, saat ini Indonesia tengah menghadapi tantangan mahaberat terkait serbuan ideologi transnasional seperti komunisme, ekstrimisme agama dengan cita-cita khilafahnya, dan liberalisme dengan individualisme serta pasar bebasnya. Berbagai survei menunjukkan makin merosotnya pengetahuan dan keyakinan pelajar dan mahasiswa tentang nilai-nilai Pancasila. Hal ini tentu semakin mengkhawatirkan apabila pelajaran Pancasila dihilangkan dalam pendidikan di Indonesia,” katanya.

 

Menurut Ahmad, Peraturan Pemerintah (PP) tidak seharusnya melakukan perubahan terselubung/diam-diam terhadap isi UU. Secara jelas Pasal  35 ayat (3) UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi menyebut kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah agama, Pancasila, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia. Dengan demikian, PP 57/2021 telah menyimpangi isi UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi tersebut. Hal itu berarti mengandung ketidakabsahan hukum,  karena PP 57/2021 tersebut bertentangan norma di atasnya secara nyata.

 

Inisiatif Melakukan Perubahan Terbatas

Ahmad menjelaskan, ketika menyusun regulasi Standar Nasional Pendidikan, seharusnya penyusun regulasi menggunakan dasar dalam UU Pendidikan Tinggi, sehingga ada konsistensi norma yang lebih rendah terhadap norma yang lebih tinggi. Di samping itu, keberadaan PP tentang Standar Nasional Pendidikan seharusnya bisa menjadi pengisi kekosongan hukum di UU 20/2003 tentang Sisdiknas yang belum mengatur kewajiban mata Pelajaran Pancasila di sekolah.

 

Dengan asas hukum peraturan yang terbaru mengesampingkan peraturan yang terdahulu, hadirnya UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang lebih baru dibandingkan UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, seharusnya dijadikan pedoman saat penyusunan PP 57/2021. Caranya, dengan memasukkan Pancasila sebagai pelajaran di sekolah sambil menunggu dilakukannya perubahan atau revisi UU Sisdiknas, dan bukan justru malah menghilangkannya sama sekali.

 

Untuk itu dalam rangka segera mengakhiri kontroversi PP 57/2021 dan menyelamatkan wajah Presiden Jokowi, maka Ahmad menyarankan agar pemerintah segera membuat inisiatif  melakukan perubahan terbatas atas PP 57/2021.

 

“Perubahan yang dimaksudkan adalah memasukkan Pancasila dan bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran wajib di sekolah maupun mata kuliah wajib di perguruan tinggi. Pada dasarnya, perubahan suatu produk peraturan perundang-undangan yang dilakukan tidak lama setelah peraturan tersebut  diundangkan dalam rangka merespons masukan publik merupakan hal lumrah dan wajar. Hal ini juga beberapa kali sudah pernah terjadi dalam praktek kenegaraan kita,” pungkas Ahmad.

Tags: