AJI Indonesia Dkk Persoalkan Aturan Pemblokiran Internet dalam UU ITE
Berita

AJI Indonesia Dkk Persoalkan Aturan Pemblokiran Internet dalam UU ITE

Para pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 40 ayat (2b) UU ITE inkonstitusinal bersyarat sepanjang pemblokiran situs atau akses internet didasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 3 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES

Aturan pemblokiran situs atau akses internet oleh pemerintah dalam Pasal 40 ayat (2b) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Pengajuan permohonan ini, bertepatan 21 tahun berlakunya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), untuk melindungi kepentingan publik dan menjamin terlaksananya kebebasan pers di Indonesia. Tercatat sebagai pemohon, Aliansi Jurnalis Independen (AJI Indonesia) dan Pimpinan Redaksi Suara Papua, Arnoldus Belau.  

Ketua AJI, Abdul Manan menilai adanya aturan pemblokiran situs dan internet yang dilakukan pemerintah (Kominfo) memiliki kerugian dan berpengaruh besar bagi kebebasan pers dan kinerja wartawan. “Aturan ini telah melegalkan pemerintah untuk melakukan pemblokiran tanpa alasan yang jelas. Aturan ini dapat digunakan dalam kondisi apa saja oleh pemerintah demi kepentingan pemerintah dengan tindakan yang tidak sesuai dengan aspirasi publik. Hal ini yang menjadi dasar AJI melakukan uji materi pasal blokir ke MK,” kata Abdul Manan dalam konferensi pers secara daring, Kamis (24/9/2020).

Pasal 40 ayat (2b) UU ITE menyebutkan “Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum.”

Dia melanjutkan aturan pemblokiran dan penghambatan (perlambatan) internet telah merampas hak-hak masyarakat. Praktiknya, aturan itu dengan mudah digunakan pemerintah tanpa memberikan penjelasan yang jelas mengapa melakukan pemblokiran. “Dikhawatirkan, aturan ini bisa digunakan untuk memblokir orang-orang yang kritis dan tidak sejalan dengan pemerintah,” kata dia.

Abdul memberi contoh pada tahun 2019 saat sengketa pilpres berlangsung, pemerintah melakukan perlambatan internet yang telah menghambat kinerja para wartawan untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Kemudian, pada tahun 2016 juga terdapat pemblokiran situs media Suara Papua yang dianggap melanggar ketentuan UU.

Kuasa hukum pemohon, Ade Wahyudi menilai aturan pemblokiran ini membuat pemerintah memiliki kewenangan yang terlalu luas dan telah mengambil alih kewenangan pengadilan dalam menegakkan hukum, keadilan, memeriksa, memutus atas tafsir informasi atau dokumen elektronik yang melanggar hukum.

“Seharusnya jika ada konten yang melanggar ketentuan dan berdampak buruk itu hanya bisa dilakukan jika pengadilan sudah memutus dan menyatakan konten tersebut tidak baik (melanggar hukum, red), baru pemerintah melakukan pemblokiran. Tetapi, faktanya saat ini pemerintah seakan memiliki kewenangan yudikatif untuk memutuskan konten mana yang tidak sesuai dengan ketentuan UU,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait