AJI Indonesia Soroti UU ITE, UU Cipta Kerja dan Pemberitaan Terkait Isu Gender
Kaleidoskop 2021

AJI Indonesia Soroti UU ITE, UU Cipta Kerja dan Pemberitaan Terkait Isu Gender

Masih banyak persoalan yang dihadapi jurnalis saat melakukan peliputan. Begitu halnya dengan kesejahteraan jurnalis yang terkena dampak pandemi.

Oleh:
CR-27
Bacaan 4 Menit

Sepanjang tahun 2021, AJI Indonesia turut menyoroti persoalan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan yang diajukan AJI Indonesia terkait Pasal No.40 Ayat 2B UU ITE. AJI Indonesia cukup menyesali putusan MK atas pasal ini karena seakan-akan pemerintah memiliki kewenangan penuh memblokir akses informasi atau dokumen elektronik ke perusahaan media.

Adanya tiga jurnalis yang divonis bersalah karena berita dengan pasal karet UU ITE menjadi kekhawatiran bagi jurnalis. Terkait pelanggaran UU ITE sepanjang 2021, dewan pers mencatat 44 perkara yang dikoordinasikan kepolisian terkait dugaan pelanggaran UU ITE tersebut. Hal ini menjadi ancaman serius bagi media kedepannya dan akan sangat mudah orang yang tidak terima dengan pemberitaan menggunakan pasal karet ini untuk memenjarakan jurnalis.

Dari sisi kesejahteraan jurnalis, AJI Indonesia turut menyoroti dampak pandemi ketika gelombang kedua yang terjadi pada bulan Mei hingga Agustus. Dampak ini cukup banyak membuat anggota AJI Indonesia yang terkena Covid-19, namun tidak diperhatikan oleh perusahaan secara benar.

Menurut Koordinator Bidang Ketenagakerjaan AJI Indonesia, Edi Faisoll, sebanyak 40% jurnalis tidak mendapat dukuangan dari perusahaan selama pandemi. “Dukungan berupa bantuan hidup, tes antigen serta bantuan akses fasilitas kesehatan ini rata-rata dibiayai sendiri oleh jurnalis. Sedangkan layanan dari pemerintah tidak tersedia. Faktanya perusahaan media tidak memiliki panduan dan mitigasi covid-19 untuk jurnalis,” ungkapnya.

Edi melanjutkan, jurnalis daerah yang menjadi kontributor ada yang tidak mendapatkan gaji pokok dan hanya mengandalkan penghasilan dari karya jurnalistik yang dihasilkan. Hal ini sangat memprihatinkan karena tidak adanya perhatian dari perusahaan.

Selain itu, UU Cipta Kerja yang berlaku juga berdampak cukup banyak pada jurnalis. Adanya jurnalis yang di PHK, namun pesangon yang diberikan hanya minim dan jauh dibanding dari aturan yang ada di UU Ketenagakerjaan. “Jika dahulu PHK diberikan karena adanya pelanggaran berat, namun dengan adanya UU Cipta Kerja, PHK bisa dilakukan dengan pelanggaran yang bersifat mendesak,” katannya.

Meski UU Cipta Kerja ini sudah digugat, tapi masih menjadi kontroversi dan menjadi catatan AJI Indonesia. AJI Indonesia berharap UU Cipta Kerja bisa ramah terhadap pekerja dan memihak kepada pekerja.

Hal lain yang menjadi sorotan AJI Indonesia adalah banyaknya berita terkait isu gender yang masih jauh dari pemberitaan yang ramah. AJI Indonesia sedikit menyayangkan hal ini karena media sebagai pilar demokrasi seharusnya mengedukasi, bukan membuat masyarakat tersesat dengan informasi yang meskipun fakta, tapi tidak layak dibuat secara vulgar.

“Selain judul yang memuat seksisme, berita-berita yang ditulis sebombastis mungkin hanya demi mendapatkan banyak klik dari pembaca sangat menyedihkan,” tambah Koordinator Gender, Anak dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Nani Afrida.

Ke depan, AJI Indonesia mendorong dewan pers bisa membuat semacam panduan bagaimana melakukan peliputan ramah gender. Hal ini agar bisa mengadvokasi dan memberi pengetahuan soal kekerasan yang bukan hanya sebagai bahaan bacaan. “Berita-berita berat seperti itu justru melanggengkan diskriminasi dan budaya kekerasan terhadap gender dan minoritas,” ujar Nani.

Tags:

Berita Terkait