Akademisi Beberkan 6 Sebab Kebebasan Akademik Terus Mengalami Tekanan
Terbaru

Akademisi Beberkan 6 Sebab Kebebasan Akademik Terus Mengalami Tekanan

Indeks kebebasan akademik secara global mengalami penurunan. Antara lain dampak dari menguatnya otoritarianisme.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Pengajar FH UGM Herlambang P. Wiratraman (kanan) dalam Diskusi & Peluncuran Laporan Studi Kerangka Hukum Pelindungan Civic Space di Indonesia: Melindungi Ruang, Menjaga Harapan dalam Seri Diskusi Forum Kajian Pembangunan (FKP) 2022, Rabu (21/12/2022). Foto: ADY
Pengajar FH UGM Herlambang P. Wiratraman (kanan) dalam Diskusi & Peluncuran Laporan Studi Kerangka Hukum Pelindungan Civic Space di Indonesia: Melindungi Ruang, Menjaga Harapan dalam Seri Diskusi Forum Kajian Pembangunan (FKP) 2022, Rabu (21/12/2022). Foto: ADY

Berbagai laporan organisasi masyarakat sipil menunjukkan tren penyempitan ruang kebebasan sipil di Indonesia. Salah satunya bisa dilihat dari tekanan yang belakangan ini banyak terjadi di ranah akademik. Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Herlambang P. Wiratraman mengatakan kebebasan akademik dijamin konstitusi.

Pasal 28 C UUD NKRI Tahun 1945 memandatkan setiap orang berhak mengembangkan diri melalui permenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Begitu juga Pasal 31 mengamanatkan pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Kebebasan akademik juga ditegaskan dalam Komentar Umum No.13 Komisi HAM PBB yang menekankan pentingnya otonomi institusi akademik. Kebebeasan akademik tak hanya milik dosen dan peneliti tapi juga mahasiswa. “Sayangnya UU Pendidikan Tinggi membatasi mimbar kebebasan akademik itu hanya untuk dosen,” kata Herlambang dalam Diskusi & Peluncuran Laporan Studi Kerangka Hukum Pelindungan Civic Space di Indonesia: Melindungi Ruang, Menjaga Harapan dalam Seri Diskusi Forum Kajian Pembangunan (FKP) 2022, Rabu (21/12/2022).

Baca Juga:

Kebebasan akademik juga tertuang dalam Prinsip-Prinsip Kebebasan Akademik Surabaya yang memuat 5 prinsip antara lain kekebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik. Insan akademis adalah mereka yang melakukan aktivitas di ranah akademik, memiliki kebebasan penuh dalam mengembangkan pengabdian masyarakat, pendidikan, penelitian, serta mempublikasikan hasilnya sesuai kaidah keilmuan.

Indeks kebebasan akademik di tingkat global menurut Herlambang mengalami tren penurunan. Salah satu sebabnya karena menguatnya otoritarianisme di berbagai negara. Sedikitnya ada 6 sebab ranah akademik di Indonesia selalu mengalami tekanan. Pertama, tidak ada atau terbatasnya otonomi universitas ditambah intervensi politik negara melalui menteri untuk mengangkat rektor dan melakukan tindakan administratif.

Kedua, Herlambang menilai kampus merupakan cerminan masyarakat yang sampai saat ini masih kuat struktur sosial yang feodal. Ketiga, minimnya kerangka hukum untuk melindungi kebebasan akademik ditambah lemahnya tradisi kebebasan akademik. Keempat, ada upaya mengontrol atau mengendalikan penelitian, publikasi, dan kelembagaannya.

Kelima, kebijakan supresif untuk membungkam kritik dan kooptasi dan/atau hegemoni negara dalam mendisiplinkan akademisi dan peneliti (hubungan kekuasaan oligarki). Keenam, kebijakan atau kriminalisasi menyasar pada kritik/protes, serangan digital, kekerasan, dan defamasi dan lainnya.

Herlambang mendorong diadopsinya Prinsip Surabaya tentang Kebebasan Akdemik dalam pembaruan hukum di ranah akademik. Komnas HAM telah mengadopsi Prinsip Surabaya dalam Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Komnas HAM No.5 Tahun 2021.

Menurut Herlambang, menguatnya “authoritarian rule” dan pelemahan demokrasi berdampak pada kendali riset, pembungkaman ilmuwan, dan pendisiplinan kampus/institusi riset (security clearance). Konteks transformasi digital menunjukkan kecenderungan kuat “otoritarianisme digital.”

Tags:

Berita Terkait