Akademisi FH UGM: Seharusnya Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja Tanpa Syarat
Utama

Akademisi FH UGM: Seharusnya Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja Tanpa Syarat

Demi kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan, Pemerintah sebaiknya mencabut UU No.11 Tahun 2020. Pemerintah harus mulai melakukan inovasi melakukan pembentukan hukum dan partisipasi yang bermakna.

Oleh:
CR-28
Bacaan 3 Menit

Herlambang mencatat setidaknya 2 poin utama putusan MK. Pertama, perbaikan pembentukan dengan menekankan partisipasi publik sebagai upaya formal perbaikan. Kedua, menangguhkan tindakan dan kebijakan bersifat strategis dan berdampak luas. Dampak dari putusan ini segala peraturan turunan UU No.11 Tahun 2020 harus dihentikan dan dinyatakan tidak lagi valid untuk melakukan tindakan hukum.

“Pemerintah dan DPR perlu membentuk hukum secara lebih berkeadilan sosial, kembali pada pijakan konstitusi, tak hanya ‘kepentingan investasi’,” kata Herlambang dalam kesempatan yang sama.

Menurut Herlambang, posisi MK perlu ditegaskan tidak sekedar sebagai penjaga konstitusi, tapi juga penjaga keadilan konstitusi (constitutional justice) baik formal dan substansial. Pembentukan hukum bukan semata soal “structural-functional”, tapi perlindungan hak-hak dasar warga negara (HAM dalam konstitusi).

Dosen FH UGM Departemen Hukum Lingkungan I Gusti Agung Made, mengatakan UU No.11 Tahun 2020 memberi kemudahan bagi investor yang bentuknya antara lain relaksasi standar perburuhan dan lingkungan hidup. Beleid ini merupakan “proyek” kalangan elit ekonomi dan politik. “UU Cipta Kerja ini kristalisasi kepentingan kelompok pengusaha dengan menggunakan instrumen negara,” kata dia.

Gusti mengatakan putusan MK ini sejalan dengan posisi pemerintah dimana UU No.11 Tahun 2020 tujuannya untuk investasi dan pertumbuhan ekonomi. Putusan MK mengingatkan pemerintah dalam mencapai tujuan itu harus menggunakan cara procedural. Karena itu, MK meminta pemerintah melakukan perbaikan secara formil. “Putusan MK ini bukan jalan tengah (kompromi, red), tapi jalan pemerintah yang mana MK memasangkan rambu dan alat penerangan jalan agar jalan pemerintah ini aman dan nyaman,” kritiknya.

Sejak awal Gusti mengatakan sudah mengkritik naskah akademik dan RUU Cipta Kerja, antara lain karena menggunakan Ease of Doing Business (EoDB) sebagai acuan. Padahal EoDB ini konsepnya bermasalah karena hukum ditempatkan sebagai instrumen ekonomi. Performa hukum dinilai sejauh mana hukum dapat memberikan fasilitas terhadap investasi. Karena itu tidak akan ditemukan unsur keadilan.

“Bank Dunia juga sudah tidak lagi menggunakan EoDB sebagai acuan karena dinilai bermasalah.”

Menurut Gusti, pembangunan ekonomi dalam UU No.11 Tahun 2020, seperti masa setelah perang dunia kedua dimana pilar ekonomi diperkuat mengesampingkan pilar sosial dan ekologi. “Ini menyebabkan ketimpangan sosial dan peminggiran terhadap lingkungan hidup,” katanya.

Tags:

Berita Terkait