Sejumlah ahli kerap menyebut sistem pemerintahan di Indonesia yakni Presidensial dimana Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Kepala Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan beberapa ahli hukum tata negara menyebut sistem presidensial sangat rapuh. Bahkan, ada bahaya terselubung dalam sistem tersebut yaitu terkait relasi antara eksekutif dan legislatif.
Pria yang akrab disapa Uceng ini menyebutkan ada legitimasi ganda dimana Presiden dipilih langsung oleh rakyat, begitu juga anggota parlemen atau DPR. Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer dimana pemilu hanya memilih anggota legislatif dan mereka kemudian membentuk eksekutif.
“Legitimasi ganda ini berpengaruh terhadap relasi ‘tidak mesra’ antara eksekutif dan legislatif,” kata Zainal Arifin Mochtar dalam diskusi bertajuk “Presidensialisme dan Kuasa Oligarki”, Senin (7/3/2022).
Dia menilai legitimasi ganda ini membuat hubungan eksekutif dan legislatif naik turun. Tapi bahaya jika hubungan keduanya tinggi atau sangat erat karena berpotensi besar memunculkan otoritarianisme. Jadi relasi kedua lembaga negara itu harus dalam level sedang, tidak terlalu tinggi atau rendah. Dukungan legislatif terhadap eksekutif dalam sistem presidensial membuat jalannya pemerintahan cenderung stabil.
“Tapi godaan yang muncul ketika pemerintahan dengan sistem presidensial berjalan stabil adalah otoritarianisme,” ujar Uceng.
- Baca Juga: Presidential Threshold Dinilai Melemahkan Sistem Presidensial
- Baca Juga: Diusulkan Presidential Threshold Dihapus Lewat Amandemen Konstitusi
Menurutnya, masa jabatan dalam sistem presidensial cenderung kaku karena jabatan presiden sudah ditetapkan dalam periode tertentu, misalnya 5 tahun. Jika Presiden melakukan pelanggaran tidak bisa dihukum secara langsung. Jika pelanggaran tidak bisa dibuktikan, maka tidak dapat dilakukan pemakzulan.