Akademisi FH UGM Ini Beberkan Tantangan Masyarakat Sipil Menghadapi Perppu Cipta Kerja
Terbaru

Akademisi FH UGM Ini Beberkan Tantangan Masyarakat Sipil Menghadapi Perppu Cipta Kerja

Antara lain sulitnya berharap DPR membatalkan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja begitu juga permohonan pengujian ke MK.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Terbitnya Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja terus disorot kalangan masyarakat sipil. Beleid itu dinilai menegaskan sikap pemerintah tidak mau melaksanakan Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, dalih kedaruratan dan kegentingan yang digunakan sebagai landasan terbitnya Perppu terkesan dipaksakan.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Zainal Arifin Mochtar mengatakan Presiden bisa bertindak subjektif untuk menerbitkan Perppu. Tapi tindakan itu tidak bisa dibenarkan jika tidak ada kondisi kegentingan yang memaksa. “Ini harus ada kondisi faktualnya,” kata dalam diskusi bertajuk "Menguji Klaim Kedaruratan dan Kegentingan Perppu 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja,” Selasa (24/1/2023).

Subjektivitas Presiden dalam menerbitkan Perppu itu menurut Zainal akan diobjektifkan oleh DPR dalam proses mengubah Perppu menjadi UU. DPR diharapkan punya kepekaan yang baik dan kontrol untuk menegur ketika Presiden merekayasa kegentingan memaksa. Tapi melihat komposisi DPR saat ini yang hubungan politiknya dengan Presiden sangat “mesra” bisa jadi DPR malah membenarkan apa saja yang dikatakan Presiden.

Baca Juga:

Zainal mengatakan Putusan MK No.138/PUU-VII/2009, MK telah memberi 3 pedoman pembentukan Perppu. Pertama, tidak ada aturan yang bisa digunakan untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Kedua, tidak cukup waktu untuk membentuk aturan sesuai prosedur legislasi seperti biasanya. Ketiga, harus ada keadaan yang nyata untuk menjadi alasan diterbitkan Perppu. “Terbitnya Perppu ini bisa diperdebatkan soal kegentingan memaksanya itu apa?”

Menurut Zainal, setidaknya ada beberapa tantangan yang dihadapi masyarakat sipil dalam menyikapi Perppu No.2 Tahun 2022. Antara lain berharap DPR menolak Perppu itu walau sulit karena DPR berpotensi besar menerima Perppu. Untuk mengujinya ke MK, juga tidak mudah ketika Perppu diketok menjadi UU, maka permohonan pengujian Perppu ke MK akan gugur atau NO.

Jika mengujinya ke MK ketika sudah ditetapkan menjadi UU juga sulit untuk menentukan apa standar pengujian yang akan digunakan. Misalnya mengajukan permohonan uji formil maka standar yang digunakan apakah pengujian formil UU atau Perppu. Jika pengujian formil Perppu, maka beleid itu adalah keinginan (subjektivitas) Presiden dan diobjektifkan oleh DPR. Jika pengujian formil UU, maka harus melewati proses partisipasi dan aspirasi publik.

Prinsip partisipasi bermakna menurut Zainal digunakan MK dalam konteks legislasi biasa, bukan Perppu. Oleh karenanya ketika Perppu No.2 Tahun 2022 disahkan menjadi UU kemudian mengajukan permohonan pengujian formil menggunakan standar uji formil terhadap UU, maka beleid itu dianggap sah. Tidak bisa menggunakan argumen partisipasi bermakna karena konteks formilnya dibenarkan atau Perppu itu sudah diobjektifkan oleh DPR.

Peristiwa dicopotnya Hakim Konstitusi Aswanto, kata Zainal, perlu dicermati karena itu tak berdiri sendiri. “Saya pesimis membawa ke MK dalam kondisi seperti ini. Tapi memang ini yang harus dilakukan karena ini langkah konstitusional yang tersedia,” imbuh Zainal.

Tags:

Berita Terkait