Akademisi FH UI: Perppu Bukan Cara yang Tepat untuk Perbaiki UU Cipta Kerja
Terbaru

Akademisi FH UI: Perppu Bukan Cara yang Tepat untuk Perbaiki UU Cipta Kerja

Praktik pembuatan Perppu No.2 Tahun 2022 dinilai sama seperti UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, antara lain absennya pelibatan partisipasi publik yang bermakna.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Akademisi FH UI Fitriani Ahlan Sjarif. Foto: ADY
Akademisi FH UI Fitriani Ahlan Sjarif. Foto: ADY

Kalangan masyarakat sipil terus menyoroti terbitnya Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang menggantikan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Fitriani Ahlan Sjarif, mengatakan secara umum proses pembentukan Perppu itu mengulang praktik buruk proses pembentukan UU No.11 Tahun 2020. Misalnya, tidak ada draft yang dapat diakses publik.

Awalnya Fitriani menduga terbitnya UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan akan digunakan sebagai pintu masuk membenahi substansi UU No.11 Tahun 2020. Kendati UU No.13 Tahun 2022 belum sempurna, tapi setidaknya ada indikasi untuk mendukung partisipasi publik dalam pembentukan aturan karena beleid itu membenahi konsep partisipasi dalam UU sebelumnya.

Tapi harapan membenahi substansi UU Cipta Kerja secara partisipatif itu buyar karena Presiden Jokowi menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022. Menurutnya, UU No.11 Tahun 2020 merupakan contoh baik dari UU yang buruk. Artinya proses pembentukan aturan seperti yang dilakukan terhadap UU No.11 Tahun 2020 jangan diluangi lagi. Ironisnya Perppu No.2 Tahun 2022 dibentuk dengan proses yang serupa.

“Ini tidak mengindahkan partisipasi masyarakat atau masukan masyarakat. Harapan menjadi pupus ketika Perppu dinilai sebagai cara yang baik untuk melaksanakan putusan MK (untuk membenahi UU No.11 Tahun 2020, red),” kata Fitriani Ahlan Sjarif dalam diskusi bertema “Perppu Cipta Kerja: Bagaimana Pandangan Akademisi HTN-HAN?”, Kamis (5/1/2022).

Baca Juga:

Fitriani menilai tidak ada argumen yang tepat untuk menyebut ada kegentingan yang memaksa, sehingga dibutuhkan Perppu untuk memperbaiki UU No.11 Tahun 2020. MK telah memberikan waktu yang cukup setidaknya 2 tahun sejak putusan MK tersebut.

Bahkan terbitnya Perppu No.2 Tahun 2022 menurut Fitriani tidak mematuhi ketentuan UU No.13 Tahun 2022 tentang asas keterbukaan dimana publik yang terdampak langsung bisa mengakses dan harus dilibatkan dalam pembahasan. “Perppu bukan cara yang tepat untuk memperbaiki UU No.11 Tahun 2020. Dengan dalih mendesak seolah menjadi pembenaran absennya partisipasi publik yang ditekankan MK,” urainya.

Fitriani mengakui Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan kegentingan yang memaksa. Tapi hal itu tidak tepat untuk membenahi UU No.11 Tahun 2020 sesuai putusan MK. Melihat konsideran dan penjelasan Perppu No.2 Tahun 2022, aspek ekonomi paling banyak dijadikan dalil pemerintah untuk menerbitkan Perppu.

Menurutnya, ketentuan UU No.11 Tahun 2020 melalui Perppu tidak banyak. Dia mencatat UU No.11 Tahun 2020 berisi 1.187 halaman dengan 186 pasal, 79 UU diubah dan 1 dicabut. Perppu No.2 Tahun 2022 memuat 1.117 halaman meliputi 186 pasal, 79 UU diubah dan 1 dicabut.

Oleh karena itu, Fitriani menilai Perppu No.2 Tahun 2022 tidak memperbaiki UU No.11 Tahun 2020 sesuai putusan MK tentang uji formil UU No.11 Tahun 2020. Rencana menggunakan UU No.13 Tahun 2022 sebagai “pembenaran” perbaikan UU No.11 Tahun 2020 menjadi tak banyak bermanfaat. “Perppu adalah sebuah pilihan mendadak,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait