Akademisi Ingatkan Soal Pembatasan PK di RUU Hukum Acara Perdata
Terbaru

Akademisi Ingatkan Soal Pembatasan PK di RUU Hukum Acara Perdata

Pembatasan peninjauan kembali (PK) memiliki aspek jaminan kepastian hukum, di samping juga MK telah memutus soal tersebut.

Oleh:
M. Agus Yozami
Bacaan 3 Menit
Akademisi Ingatkan Soal Pembatasan PK di RUU Hukum Acara Perdata
Hukumonline

Polemik Peninjauan Kembali (PK) dalam draft RUU Hukum Acara Perdata perlu mendapat perhatian pembentuk undang-undang (law maker) secara serius agar tercapai kepastian hukum. Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus persoalan ini dengan membatasi PK dalam perkara perdata hanya dapat dilakukan satu kali.

Dekan FH Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Abdul Halim mengingatkan pengaturan peninjauan kembali (PK) dalam perkara perdata agar dibatasi maksimal satu kali. Pembatasan tersebut selain dalam rangka memberikan kepastian hukum juga amanat Mahkamah Konstitusi (MK).

“Pembatasan peninjauan kembali (PK) memiliki aspek jaminan kepastian hukum, di samping juga MK telah memutus soal tersebut. Namanya juga PK sebagai upaya hukum terakhir. Jangan ada upaya hukum terakhir diatas upaya hukum terakhir,” ujar Halim di Jakarta, Rabu (22/6) dalam keterangan pers.

Baca Juga:

Wakil Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Wilayah Barat ini menyebutkan Putusan MK Nomor 16/PUU-VIII/2010, bertanggal 15 Desember 2010 tentang pengujian konstitusionalitas Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman secara tegas membatasi PK di luar perkara pidana.

MK beralasan, ketika PK dilakukan lebih dari satu kali maka akan mengakibatkan perkara tidak berkesudahan. “MK berpendapat jika PK dilakukan lebih dari satu kali maka bertentangan dengan asas litis finiri oportet (bahwa setiap perkara harus ada akhirnya) dan merugikan pihak yang mencari keadilan,” ungkap Halim.

Halim menyebutkan perubahan KUHAPerdata menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk menyempurnakan norma dalam UU KUHAPerdata. Menurut dia, perubahan KUHAPerdata harus menjadi kesempatan bagi negara untuk memberikan jaminan kepastian hukum.

“Kami berharap, RUU KUHPerdata ini dapat disahkan di Tahun 2022 ini,” harapnya.

Halim berpendapat produk hukum baru yang dibentuk pembuat undang-undang harus mencerminkan kepastian hukum yang berkeadilan (justice). Untuk itu Hakim perlu menggunakan keyakinan dan memperhatikan nilai moralitas di tengah-tengah masyarakat. Hakim juga mutlak memiliki independensi yang tinggi tanpa bisa diintervensi pihak lain atau kekuatan lainnya.

“Hakim itu wakil Tuhan di muka bumi yang harus terjaga dan menjaga hukum serta mewujudkan keadilan substantif dan prosedural,” tambah Halim.

Pembahasan RUU Hukum Acara Perdata saat ini tengah dibahas di Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR. Dalam rincian daftar inventaris masalah (DIM) RUU Hukum Acara Perdata sebanyak 930 bersifat tetap, 172 bersifat redaksional, 137 bersifat subtansi, serta 83 bersifat subtansi baru.

"Pada posisi ini diperlukan partisipasi masyarakat yang lebih luas untuk membangun produk hukum yang responsif. Keterlibatan dari akademisi, tokoh dan asosiasi seperti Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (ADHAPER) dan lainnya sangat diperlukan," pungkas Halim.

Sebelumnya, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Arsul Sani yang juga tercatat dalam daftar anggota Panja RUU Hukum Acara Perdata, berpendapat ada empat poin yang menjadi perhatian agar dapat RUU Hukum Acara Perdata disempurnakan perumusannya.

Pertama, terkait kepastian batasan waktu penyitaan. Menurutnya, perlu ada penyempurnaan pengaturan batasan waktu penyitaan dalam draf RUU Hukum Acara Perdata. Kedua, jangka upaya hukum. Seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali perlu adanya batasan waktu upaya hukum yang diajukan pemohon di masing-masing tingkatan.

Ketiga, kepastian pengiriman salinan putusan bagi para pihak; reformulasi keikutsertaan pihak ketiga dalam gugatan; dan reformulasi pemeriksaan acara secara singkat; serta reformulasi putusan. Keempat, soal prosedur gugatan class action atau gugatan kelompok.

“Kalau kita lihat apa yang perlu ada di RUU Hukum Acara Perdata ini? Menurut hemat saya, kalau saya baca RUU ini ada beberapa hal yang perlu kita cermati dan sempurnakan,” kata Arsul dalam diskusi daring bertajuk “Mendorong Reformasi Hukum Acara Perdata yang berdimensi Kemudahan, Kekinian, dan Inklusif”yang digelar Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI), Kamis (16/6) lalu.

Tags:

Berita Terkait