Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja terus menjadi sorotan kalangan masyarakat sipil. Sejumlah pihak juga telah mengajukan permohonan pengujian Perppu tersebut ke MK. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan pada prinsipnya Perppu dibutuhkan dalam kondisi yang mendesak. Presiden memiliki kewenangan untuk menerbitkan Perppu, sehingga sifatnya subjektif.
Untuk itu, dibutuhkan objektivitas dari lembaga lain terhadap subjektivitas Presiden itu. Tapi prinsip subjektivitas dan objektivitas Perppu itu menurut Feri telah dirusak melalui terbitnya Perppu No.2 Tahun 2022. Sebab, lembaga yang diminta untuk menilai secara objektif Perppu itu adalah lembaga yang mengusulkan terbitnya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yakni DPR. Padahal isi dari Perppu sebagian besar ketenttuan UU No.11 Tahun 2020.
“Jadi soal subjektivitas dan objektivitas ini dirusak Perppu Cipta Kerja,” kata Feri dalam diskusi ALSA Indonesia Legal Discussion #2 bertema “Penerbitan Perppu Cipta Kerja: Antara Urgensi dan Legalitas”, Senin (30/1/2023) kemarin.
Baca Juga:
- Ini Tiga Aspek Penting Perppu Cipta Kerja Diterbitkan
- Terbitkan Perppu Cipta Kerja, Begini Alasan Pemerintah
- Perppu Cipta Kerja Dinilai Bentuk Pembangkangan Konstitusi
Feri tidak yakin proses penerbitan Perppu No.2 Tahun 2022 dilakukan sesuai standar sesuai putusan MK. Misalnya, Putusan MK No.138/PUU-VII/2009 memberi 3 pedoman pembentukan Perppu. Pertama, tidak ada aturan yang bisa digunakan untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Kedua, tidak cukup waktu untuk membentuk aturan sesuai prosedur legislasi, seperti biasanya. Ketiga, harus ada keadaan yang nyata untuk menjadi alasan diterbitkan Perppu. “Terbitnya Perppu No.2 Tahun 2022 ini terkesan dipaksakan. Bukan karena ihwal kegentingan memaksa, tapi kepentingan yang memaksa lahirnya Perppu,” ujarnya.
Feri mencatat sedikitnya ada 3 kejanggalan Perppu No.2 Tahun 2022. Pertama, jika Perppu ini diterbitkan untuk kegentingan memaksa, tapi kenapa isi pasalnya ratusan dengan jumlah halaman sampai ribuan. Seharusnya dalam kegentingan yang memaksa, tidak ada waktu untuk membuat banyak pasal. Setidaknya yang masuk dalam Perppu adalah pasal-pasal penting saja yang langsung menyasar pokok masalah.
“Bagaimana mungkin dalam keadaan mendesak, tapi bisa membuat ratusan pasal,” kritiknya.
Kedua, konsideran menimbang Perppu No.2 Tahun 2022 menyebut antara lain terbitnya Perppu untuk melaksanakan Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2O2O, sehingga perlu dilakukan perbaikan melalui penggantian terhadap UU No.11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja. Feri bingung sejak kapan Perppu ditujukan untuk memperbaiki UU. Hal itu jelas mengabaikan proses pembentukan peraturan perundang-undangan baik asas materil dan formil.