Akademisi Ini Sebut Pemerintah Harusnya Perbaiki dan Evaluasi Efektivitas UU Cipta Kerja
Terbaru

Akademisi Ini Sebut Pemerintah Harusnya Perbaiki dan Evaluasi Efektivitas UU Cipta Kerja

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2O2O memerintahkan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja untuk diperbaiki dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Harusnya menjadi momentum pemerintah untuk mengevaluasi efektivitas UU Cipta Kerja.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Amar putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2O2O antara lain menyebut UU No.11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Oce Madril, mengatakan sejak awal UU No.11 Tahun 2020 mendapat sorotan berbagai kalangan karena substansinya berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan bernegara.

Banyak kalangan berharap ketika terbit putusan MK No.91/PUU-XVIII/2O2O pemerintah tak hanya melakukan perbaikan formalitas penyusunan UU No.11 Tahun 2020, tapi juga melakukan evaluasi terhadap penerapannya apakah efektif atau tidak. “Ada waktu yang cukup bagi pemerintah untuk membenahi tak hanya formalitas (UU No.11 Tahun 2020, red), tapi juga membenahi substansinya berdasarkan hasil evaluasi,” kata Oce Madril dalam diskusi “Perppu Cipta Kerja: Bagaimana Pandangan Akademisi HTN-HAN?”, Kamis (5/1/2022) lalu.

Baca Juga:

Oce heran kenapa kemudian pemerintah malah menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Padahal jelas pilihan yang bisa dilakukan untuk menindaklanjuti putusan MK adalah membenahi UU No.11 Tahun 2020 atau menerbitkan instrumen hukum baru. Jika yang dipilih adalah instrumen baru melalui Perppu, maka menimbulkan persoalan karena putusan MK tegas meminta perbaikan UU No.11 Tahun 2020. “Perppu ini instrumen baru, tapi isinya sebagian besar sama dengan UU No.11 Tahun 2020,” ujarnya.

Mengingat Perppu adalah instrumen hukum baru yang diterbitkan pemerintah, Oce mengingatkan proses pembentukannya harus melalui prosedur yang berlaku. Tapi sayangnya syarat untuk menerbitkan Perppu banyak yang tidak dipenuhi ketika menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022, misalnya soal syarat kegentingan memaksa.

Kegentingan memaksa ini menurut Oce berkaitan dengan kekuasaan diskresi pemerintah yang sudah menjadi norma dalam UU Administrasi Pemerintahan. Bisa dinilai apakah setelah putusan MK itu terjadi stagnansi misalnya berdampak terhadap terhentinya perizinan karena konsep yang diusung UU No.11 Tahun 2020 berbeda dengan sebelumnya yakni berbasis risiko.

Tapi faktanya setelah putusan MK pemerintah tetap berjalan begitu juga dengan perizinan yang mengacu UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan turunannya. Sehingga tidak ada kekosongan hukum. Kemudian tidak ada persoalan juga terhadap kepentingan umum atau terkait kepastian hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait