Akademisi Ini Sebut UU Cipta Kerja Tak Boleh Direvisi Setelah Ditandatangani Presiden
Utama

Akademisi Ini Sebut UU Cipta Kerja Tak Boleh Direvisi Setelah Ditandatangani Presiden

Karena tak ada peraturan yang membolehkan merevisi UU setelah ditandatangani Presiden dan diundangkan dalam lembaran negara. Secara konstitusional, Presiden disarankan dapat membentuk Perppu untuk memperbaiki kesalahan redaksional dalam UU Cipta Kerja.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 6 Menit

Charles memperkirakan kesalahan merujuk pasal itu hanya satu dari beberapa kejanggalan dalam UU Cipta Kerja yang sudah ditandatangani Presiden. Dia menduga pemerintah bakal merevisi lagi UU Cipta Kerja ini pada cetakan berikutnya. “Nanti mereka diam-diam bikin cetakan baru seolah tak ada kejadian. Kemudian yang beredar dibilang ‘abal-abal’. Yang menggunakan nomor kan cuma halaman 1. Berikutnya dicetak lagi, kan tak ada yang tahu,” ujarnya.

Dia menilai proses pembentukan yang ugal-ugalan menghasilkan produk yang abal-abal. Seharusnya ada pertanggungjawaban moral dari para ahli hukum di lingkaran istana. “Bikin UU kok kayak bikin tugas kuliah (sering direvisi, red). Padahal ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” kritiknya.

Menurutnya, terhadap UU yang telah ditandatangani Presiden tak lagi boleh direvisi. Sebab, tak ada peraturan yang membolehkan merevisi UU yang telah ditandatangani Presiden dan diundangkan dalam lembaran negara. Artinya, UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak mengatur perbaikan UU setelah ditandatangani Presiden.    

“Tapi, melihat jejak proses pembuatan UU Cipta Kerja hingga pengesahan, pemerintah nampaknya bakal melakukan hal serupa (merevisi lagi, red),” sindirnya.

Batal demi hukum

Sepengetahuan Charles sepanjang Indonesia berdiri, pembuatan UU Cipta Kerja pertama dalam sejarah yang dibuat ugal-ugalan. Bahkan, di era Orde Baru pun belum pernah ada kejadian seperti pembuatan UU Cipta Kerja ini. Dia menilai bila Pasal 6 UU Cipta Kerja tetap dipaksakan berlaku, rumusan normanya tak dapat dilaksanakan. Akhirnya, menimbulkan kekosongan hukum atau ketidakpastian akibat ketidaksinkronan pasal.

“Dimana-mana kalau cacat formil kan batal demi hukum. Meskipun sebagian menyatakan batal demi hukum harus dengan penetapan pengadilan (dapat dibatalkan). Bagi saya sudah batal demi hukum itu ya batal dengan sendirinya tanpa putusan pengadilan,” kata dia.

Charles berharap Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai benteng terakhir meluruskan persoalan pembentukan UU yang ugal-ugalan ini. Bila MK membiarkan dan melegalkan praktik pembentukan UU Cipta Kerja ini bakal hancurnya negara hukum. MK harus menjadi bagian dalam menjaga objektivitas UU dari aspek formil ataupun materil.

Tags:

Berita Terkait