Akademisi Ini Sebut UU Cipta Kerja Tak Boleh Direvisi Setelah Ditandatangani Presiden
Utama

Akademisi Ini Sebut UU Cipta Kerja Tak Boleh Direvisi Setelah Ditandatangani Presiden

Karena tak ada peraturan yang membolehkan merevisi UU setelah ditandatangani Presiden dan diundangkan dalam lembaran negara. Secara konstitusional, Presiden disarankan dapat membentuk Perppu untuk memperbaiki kesalahan redaksional dalam UU Cipta Kerja.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 6 Menit

“MK mesti mempertimbangkan pengajuan uji formil secara teliti dan mendalam. Bila membiarkan UU Cipta Kerja tanpa adanya koreksi, pertanda rusaknya negara hukum. Kalau demikian, MK akan menjadi bagian dari runtuhnnya negara hukum,” ujarnya.

Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Fajri Nursyamsi menilai meski telah diundangkan dan sah berlaku, UU Cipta Kerja masih menuai kesalahan perumusan yang berdampak terhadap substansial pasal. Selain Pasal 6 yang merujuk pada Pasal 5 ayat (1) yang notabene tak memiliki ayat satupun, terdapat Pasal 175 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 53 ayat (5) UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang tertulis merujuk pada ayat (3), semestinya merujuk pada ayat (4).

Pasal 175 yang mengubah Pasal 53 UU 30/2014 

(3) Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.

(4) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)', Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.

“Temuan kesalahan perumusan tersebut bukan sekadar kesalahan ketik, tetapi perlu dimaknai sebagai buah dari proses pembentukan regulasi yang dipaksakan dan mengorbankan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas,” katanya.

Fajri berpandangan menelaah lebih dalam kesalahan perumusan tersebut merupakan bentuk pelanggaran “kejelasan rumusan” sebagaimana diatur Pasal 5 huruf f UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini semakin menunjukan UU Cipta Kerja mengandung cacat formil. Karena itu, MK harus mempertimbangkan secara serius menindaklanjuti permohonan uji formil UU Cipta Kerja ini.

Menurutnya, permasalahan dalam perumusan UU berupa salahnya merujuk pasal, pernah terjadi sebelumnya ketika pemerintah mengaku adanya kesalahan redaksioinal dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Ketentuan pidana dalam Pasal 116 ayat (4) seharusnya merujuk pada Pasal 80, tetapi rujukan yang tertulis adalah Pasal 83. Akibatnya, ketentuan pidana itu tidak bisa dilaksanakan dan pasal itu dimohonkan pengujian ke MK.

“Dalam kaitannya dengan UU Cipta Kerja, temuan kesalahan penulisan di bagian awal ini tidak menjamin hanya itu permasalahan redaksional yang ada dalam UU Cipta Kerja,” kata dia menduga.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait