Akademisi Ini Soroti Problem Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja
Berita

Akademisi Ini Soroti Problem Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja

Mulai persoalan PKWT, alih daya, dan PHK.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Dia melansir data BPJS tahun 2019, sekitar 65 persen buruh bekerja di sektor informal. Perlindungan buruh sektor informal diserahkan pada mekanisme kesepakatan para pihak, hal ini tentu saja bakal merugikan buruh karena ada posisi tidak setara antara buruh dan pengusaha.

Selain itu, mekanisme PHK berubah karena Pasal 152 diubah. PP36/2021 diatur mekanisme PHK. Yang berubah soal PHK itu awalnya di UU Ketenagakerjaan PHK itu harus terjadi melalui mekanisme bipartit, kalau sepakat maka bisa keluar PHK. “Tapi di UU Cipta Kerja ini diubah, sekarang dimungkinkan PHK dilakukan melalui pemberitahuan kepada pekerja/Serikat Pekerja tanpa mekanisme bipartit. Jadi dilayangkan surat mengenai PHK. Kalau tidak merespon, maka PHK itu sah. Buruh punya hak menolak pemberitahuan PHK. Bila berujung ke PHI, yang berlaku itu putusan PPHI.”

Hal lain yang memberi perlindungan bagi buruh PKWT dalam UU Cipta Kerja yakni kompensasi PKWT ketika kontrak berakhir. Kompensasi ini harus dibayar ketika kontrak selesai sekalipun PKWT itu akan diperpanjang. Jika dalam perjalanannya pengusaha memutus PKWT di tengah jalan, maka buruh berhak mendapat ganti rugi sisa kontrak dan kompensasi PKWT.

Soal alih daya, Nabila mengatakan UU Cipta Kerja menegaskan tanggung jawab dan perlindungan buruh ada pada perusahaan alih daya. Tapi dia menyayangkan UU Cipta Kerja menghapus batasan jenis pekerjaan yang bisa dilakukan alih daya. “Ketentuan ini membuka alih daya untuk semua jenis pekerjaan, dampaknya eksploitasi terhadap buruh alih daya makin meningkat,” katanya.

Tags:

Berita Terkait