Akademisi Ini Usul Mengibarkan Bendera Kusam Tak Perlu Dipidana
RUU KUHP

Akademisi Ini Usul Mengibarkan Bendera Kusam Tak Perlu Dipidana

Tapi, ada pandangan tidak masalah jika perbuatan mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam itu dilakukan tanpa adanya niatan untuk melanggar hukum, kecuali dilakukan dengan sengaja.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit

Prof Faisal mencontohkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang terjerat kasus korupsi terkait dengan kepengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA). Hukuman terhadap Jaksa Pinangki ini seharusnya diperberat, bukan malah diringankan. Majelis Banding Pengadilan Tinggi Jakarta pada tanggal 14 Juni 2021, kata Prof Faisal, malah mengurangi putusan Jaksa Pinangki menjadi 4 tahun dan denda sebesar Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan.

Padahal sebelumnya vonis Majelis Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 8 Februari 2021 memvonis Jaksa Pinangki pidana penjara selama 10 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan. "Pemberatan pidana terhadap pejabat negara yang terbukti melanggar pasal-pasal penodaan terhadap bendera negara perlu ada dalam UU KUHP baru," katanya.

Harus ada kesengajaan

Sementara akademisi hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho menilai rumusan Pasal 235 RUU KUHP mempertegas ancaman pidana penghinaan lambang/bendera negara. "Kalau (penghinaan) terhadap lambang-lambang atau bendera negara, saya sepakat itu dimasukkan dalam RUU KUHP. Jadi semua yang dirumuskan dalam RUU KUHP itu untuk menunjukkan bahwa yang namanya lambang atau bendera negara harus dihormati dan ditempatkan pada tempat yang benar," kata Hibnu.

Ia mengakui ancaman pidana penghinaan lambang/bendera negara sebenarnya telah masuk dalam KUHP yang berlaku saat ini meskipun tidak dijelaskan secara rinci bentuk penghinaannya. Selain itu, ada UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, untuk memberikan jaminan kepastian hukum, keselarasan, keserasian, standardisasi, dan ketertiban dalam penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan.

Karena itu, Hibnu sepakat jika ancaman pidana terhadap pelaku penghinaan bendera atau lambang negara juga diatur dalam RUU KUHP. "Jangan sampai lambang-lambang negara mendapatkan tempat yang kurang baik, yang cenderung ada pelecehan, penghinaan, dan sebagainya. Makanya pasal itu untuk mempertegas itu (ancaman pidana terhadap penodaan/penghinaan bendera negara, red)," kata Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed itu.

Disinggung mengenai ketentuan Pasal 235 huruf b RUU KUHP, dia mengatakan suatu perbuatan pidana itu ada niatan untuk melanggar hukum. Dengan demikian, kata dia, tidak masalah jika perbuatan mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam itu dilakukan tanpa adanya niatan untuk melanggar hukum.

"Itu harus dipahami dalam teori ilmu hukum. Dalam arti kesengajaan, bendera sudah robek, kusut, kusam, atau luntur itu penghinaan. Tetapi kalau yang tidak tahu (adanya ancaman pidana, red), ya teori hukumnya tidak kena (pidana, red) karena ketidaktahuannya," kata dia.

Ia mengatakan untuk mengetahui apakah seseorang tahu atau tidak tahu tentang tindak pidana tersebut bisa diketahui dalam tataran pembuktian. "Itu (Pasal 235 Huruf b RUU KUHP, red) betul bisa dipakai sepanjang ada suatu niatan sebagai bentuk penghinaan lambang/bendera negara. Jadi, teori kesadaran harus tahu, sadar bahwa itu kusut, ya enggak usah dinaikkan," katanya.

Menurut dia, hal itu juga berlaku terhadap bendera negara-negara sahabat. "Kita juga harus hormati negara-negara sahabat," katanya. (ANT)

Tags:

Berita Terkait