Misalnya RUU Kesehatan yang harusnya fokus pada UU di bidang kesehatan, tapi sekarang menyasar banyak UU lain termasuk kelembagaan yang tidak terkait dengan urusan kesehatan. “Harus ada batasan jumlah UU, tema dan filosofi UU yang masuk omnibus harus sama,” usulnya.
Soal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, menurut Jimmy tidaklah tepat untuk menindaklanjuti putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020, MK menegaskan perubahan menggunakan instrumen yang sama yakni UU. Jika yang dipilih adalah Perppu, maka harus ada ihwal kegentingan memaksa, dan persetujuan DPR. Jika keduanya tidak terpenuhi, maka Perppu samahalnya seperti Peraturan Pemerintah (PP).
Sementara Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Ni’matul Huda, menegaskan Perppu 2/2022 merupakan pembangkangan Presiden terhadap putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020. Memang, Perppu merupakan hak subjektif Presiden. Tapi MK dalam putusan No.91/PUU-XVIII/2020 memerintahkan pembentuk UU agar melakukan perbaikan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
“Perppu itu tidak tepat. Lagi-lagi Presiden mengabaikan partisipasi publik,” pungkasnya.