Akademisi Kritik RUU Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional
Berita

Akademisi Kritik RUU Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional

Klaim kebudayaan adalah hal biasa, sehingga tidak perlu ditanggapi. Coba hitung berapa banyak kita meniru dan mengambil kebudayaan dari negara lain, seperti Spanyol, Amerika. Kalau setiap masyarakat itu marah itu kan jadi repot, ujar Tamrin Amal Tumuyola, Sosiolog dari UI.

Oleh:
M-7
Bacaan 2 Menit

 

RUU PTEBT

Khusus untuk persoalan kebudayaan, Pemerintah sebenarnya tengah merancang sebuah Undang-Undang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (PTEBT). Ansori Sinungan, Direktur Kerjasama dan Pengembangan Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan HAM, menyatakan RUU ini harus disusun ekstra hati-hati. Dalam arti harus melihat kerangka Bhineka Tunggal Ika, kepentingan nasional, menghindari terjadinya klaim-mengklaim antar suku, ujarnya.

 

Sekadar informasi, RUU ini akan mengatur banyak hal soal kebudayaan. Misalnya, inti, definisi serta ruang lingkup produk budaya itu sendiri. Apa yang menjadi hak ekslusif dan bentuk-bentuk mana saja yang dikatakan pemanfaatan produk budaya. Untuk tujuan komersil, apa saja yang menjadi pengecualian yang tidak termasuk dalam suatu pelanggaran ketika menggunakan produk budaya itu.

 

Kemudian mengenai siapa yang menjadi pemelihara, pemegang hak dan bagaimana pendokumentasian produk budaya, dan bagaimana sistem perizinan untuk pemanfaatan produk budaya itu. Bukan itu saja, dalam RUU ini juga dirancang mengenai ketentuan pidana terhadap pelanggaran atas ketentuan yang sudah diatur.

 

Ternyata, keberadaan RUU ini tidak mendapat respon postif. Tamrin Amal Tumuyola menanggapi sinis rencana pemerintah dalam membuat RUU itu. Menurutnya, negara tidak perlu campur tangan mengenai masalah kebudayaan. Alasannya, hal itu merupakan wilayah domainnya masyarakat, bukan domain negara.

 

Dia juga menilai bahwa pembuatan RUU ini sebenarnya hanya untuk kepentingan birokrasi. Mereka ini mencari-cari pekerjaan yang tidak ada manfaatnya, sebaiknya pemerintah mengatur mengenai pencurian arca saja kerena itu sudah termasuk dalam tindak pidana.

 

Agus Sardjono Guru Besar HKI Fakultas Hukum Indonesia mengingatkan pemerintah, masalah perlindungan folklore tidak boleh mengunakan sistem perlindungan dalam hal HKI konvensional seperti paten, merek dan sebagainya. Hal yang menjadi sangat fatal apabila kebudayaan kita tersebut diberi perlindungan dalam konteks HKI konvensional karena ini akan memenjarakan kebudayaan kita sendiri, paparnya.

 

Masalah kebudayaan itu sendiri, genetic resources-nya yang dilindungi, dan tradisional knowledge, bukan termaksuk dalam HKI konvensional walaupun memang dia termasuk dalam HKI, yaitu kreasi manusia, tandas Sardjono.

Tags: