Akademisi Pidana Bicara tentang Penangkapan Terkait PSBB
Utama

Akademisi Pidana Bicara tentang Penangkapan Terkait PSBB

Jangan sampai penangkapan orang yang berkerumun menjadi kontraproduktif dengan upaya pencegahan wabah.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Secara hukum, jelas Topo, penangkapan yang dilakukan karena melanggar larangan PSBB berpotensi dinyatakan tidak sah jika dilakukan sebelum ada penetapan PSBB. Artinya, saat penangkapan tanpa dasar hukum yang kuat. Itu sebabnya, ia menyarankan kepolisian bertindak lebih persuasif, seperti memberi peringatan atau penyadaran.

Namun jika aturan PSBB sudah berlaku di suatu daerah maka seharusnya hanya pelayanan tertentu saja yang boleh beroperasi. “Jika PSBB sudah efektif berlaku di satu daerah maka ya hanya pelayanan tertentu yang boleh buka. Sila dicek saja di PP-nya. Ini baru di-juncto-kan dengan UU Kekarantinaan Kesehatan,” jelasnya.

Delik materil

Pengajar hukum pidana Universitas Lambung Mangkurat  Banjarmasin, Daddy Fahmanadie, berpendapat bahwa delik yang terkait larangan-larangan dalam PSBB merupakan delik materiil. Upaya penangkapan atau proses hukum atas sejumlah orang yang diduga tidak mematuhi larangan-larangan dalam PSBB perlu melihat akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan berkumpul tersebut. Misalnya, akibat berkumpul tersebut salah seorang dinyatakan positif corona.

Menurut Dedy, begitu ia biasa disapa, jika melihat kontstruksi bahwa polisi menggunakan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan, maka secara normatif apakah kausalitas dalam pasal itu sudah ditafsirkan sedemikian rupa sehingga orang yang melaksanakan aktivitas minum dan makan di cafe atau melakukan gym sudah berakibat pada darurat kesehatan.

“Ini yang masih perdebatan karena tekstual sekali normanya Pasal 93. Menurut saya materil deliknya, sehingga butuh akibat perbuatan tersebut. Kalau ada (akibatnya) lantas penegakan hukum terjadi di situ, maka saya melihatnya ini absolut. Artinya bahwa pandangan yang digunakan adalah efek jera. Sementara kita belum jelas apakah unsur pasalnya bisa kenakan atau tidak seyogyanya tindakan preventif dan jangan sampai represif,” ujarnya.

Apalagi jika di daerah penangkapan belum ditetapkan PSBB. Langkah semacam ini, menurut Dedy, terbilang prematur sepanjang dasar hukum yang dipakai adalah larangan dalam status PSBB. Senada dengan Topo, Dedy berharap aparat kepolisian lebih menggunakan tindakan persuasif daripada melakukan tindakan represif.

Bagaimana jika aparat penegak hukum menggunakan Pasal 218 KUHP? Menurut Dedy, penggunaan pasal ini juga tak mudah sebab ada kata ‘berkerumun’, yaitu perbuatan berkelompok yang lebih dari satu orang dilakukan secara tidak sah  dan perbuatan tersebut dilakukan dengan tidak tenteram dan tidak damai. “Bagaimana mungkin orang yang sedang makan atau berjualan kemudian olahraga itu dikatakan sebuah ancaman? Tentu sulit sehingga saya kira konteksnya akan tidak sampai pada kategori PSBB dimaksud maka ketegasan PSBB dsini haruslah bersandarkan instrumen ketentuan hukum yang jelas sebab dalam penormaan UU dikenal prinsip lex certa,” jelasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait