Akhirnya Terbit Juga! Perpres Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia
Kolom

Akhirnya Terbit Juga! Perpres Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia

​​​​​​​Meski diapresiasi, Perpres ini masih menyisakan beberapa catatan dan pertanyaan.

Bacaan 2 Menit

 

Dalam putusan ini, Majelis Hakim MA menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Tinggi Jakarta yang membatalkan perjanjian kredit yang disepakati oleh badan hukum Indonesia dan badan hukum negara bagian Texas dengan alasan perjanjian tidak dibuat dalam bahasa Indonesia. Pertimbangan Majelis Hakim adalah tidak digunakannya bahasa Indonesia oleh para pihak dalam perjanjian kredit merupakan suatu sebab/causa yang terlarang. Sehingga, perjanjian kredit ini tidak memenuhi syarat sebab/causa yang halal dalam salah satu dari empat syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW.

 

Lebih lanjut, sehubungan dengan klarifikasi dalam surat Menkumham, Majelis Hakim menyatakan bahwa Surat Menhukham tersebut “… tidak dapat melumpuhkan kata(-kata) ‘wajib’ yang terdapat dalam ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 24 tahun 2009 karena Surat Menteri tidak termasuk kepada tata urutan perundang-undangan.” Itu artinya, Surat Menhukham ini dianggap tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum.

 

Tentunya putusan tersebut mengundang kekhawatiran dan kritik. Pertama, kekhawatiran akan terulangnya gugatan-gugatan serupa dalam Putusan Nine AM, yang mengakibatkan perjanjian-perjanjian yang telah ada dan tidak dituangkan ke dalam bahasa Indonesia dinyatakan batal demi hukum. Kedua, Putusan Nine AM ini justru menambah ketidakjelasan ruang lingkup keberlakuan dari ketentuan Pasal 31 UU 24/2009. Ketiga, dengan mengangkat semangat asas kebebasan berkontrak, jika perjanjian harus ditulis dalam bahasa yang tidak mereka pahami, bagaimana para pihak dapat mengetahui apakah isi perjanjian tersebut telah benar merefleksikan hasil kesepakatan mereka? Keempat, persoalan penerjemahan dokumen yang bukan merupakan penyelesaian terbaik. Sebab, tidak hanya menjadi beban tambahan dari segi waktu dan biaya, tetapi juga penerjemahan dokumen hukum dari dan ke dalam berbagai bahasa tidak selalu dapat dilakukan secara sama dan sebangun (congruent) karena bahasa hukum bersifat khusus dan berakar pada budaya dan sistem hukum tempatnya dipergunakan. Sehingga penerjemahan dokumen hukum harus selalu memperhatikan konteks budaya dan sistem hukum.

 

Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2009

Pada tanggal 30 September 2019 akhirnya Presiden menggenapi amanat Pasal 40 UU 24/2009 dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (Perpres 63/2019). Perihal kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian diatur dalam Pasal 26 yang terdiri dari 4 ayat. Isi dan redaksi dari ayat pertama dan kedua dari Pasal 26 ini menegaskan ulang isi Pasal 31 UU 24/2009.

 

Sehubungan dengan penggunaan bahasa asing dalam perjanjian yang melibatkan pihak asing, ayat 3 dari Pasal 26 Perpres 63/2019 ini menyatakan bahwa: “… bahasa asing tersebut digunakan sebagai padanan atau terjemahan bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman nota kesepahaman atau perjanjian dengan pihak asing.”  Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau terjemahan antara bahasa Indonesia dan bahasa asing, ayat terakhir dari Pasal ini lebih lanjut mengatur bahwa, “… bahasa yang digunakan ialah bahasa yang disepakati dalam nota kesepahaman atau perjanjian.”

 

Setelah ditunggu lebih dari 10 tahun, Perpres 63/2019 ini setidaknya menjawab satu pertanyaan dan kebingungan yang selama ini ada di benak para pelaku usaha dan pengacara, yaitu dalam hal perjanjian dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, para pihak bebas menyepakati bahasa yang digunakan dalam perjanjian dan mengikat para pihak. Oleh karena itu, untuk selanjutnya perlu dinyatakan secara tegas bahasa yang disepakati dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing. Dinyatakannya ketentuan ini dalam Perpres 63/2019 patut diapresiasi karena sejalan dan mengusung semangat kebebasan berkontrak para pihak.

 

Masih Menyisakan Catatan dan Pertanyaan

Sebagaimanapun patut diapresiasinya penerbitannya, Perpres 63/2019 ini masih menyisakan beberapa catatan dan pertanyaan. Pertama, dengan berlakunya Perpres 63/2019 ini, berarti ada satu hal yang harus selalu diperhatikan dalam pembuatan dan penyusunan perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia, yaitu ditulis dalam bahasa Indonesia. Sekalipun melibatkan pihak asing, yang tidak mempunyai pengetahuan mengenai bahasa Indonesia sama sekali, versi bahasa Indonesia dari perjanjian tersebut harus selalu ada, selain versi bahasa asingnya. Dengan ini apakah berarti terdapat formalitas tambahan dalam hukum perjanjian Indonesia? Lalu, jikalau terjadi pelanggaran terhadap formalitas perjanjian ini, apakah kemudian dapat dimintakan pembatalan perjanjian? Atau justru kemudian bahasa Indonesia menjadi syarat sahnya perjanjian?

Tags:

Berita Terkait