Akhirnya Terbit Juga! Perpres Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia
Kolom

Akhirnya Terbit Juga! Perpres Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia

​​​​​​​Meski diapresiasi, Perpres ini masih menyisakan beberapa catatan dan pertanyaan.

Bacaan 2 Menit

 

Kedua, merujuk Pasal 44-nya, Perpres 63/2019 ini tidak berlaku surut. Bagaimana status perjanjian-perjanjian yang telah disepakati sebelum diterbitkannya Perpres ini dan ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing? Merujuk isi Pasal 26 ayat (4) Pepres 63/2019, apakah para pihak dapat menentukan kemudian versi bahasa yang menjadi berlaku untuk perjanjian mereka? Selanjutnya, bagaimana juga status perjanjian-perjanjian yang telah disepakati sebelum diterbitkannya Perpres ini dan tidak ditulis dalam bahasa Indonesia? Apakah ini artinya terhadap perjanjian-perjanjian tersebut masih terbuka kemungkinan diajukan gugatan dan dinyatakan batal demi hukum seperti dalam Putusan Nine AM? Perpres 63/2019 diam mengenai persoalan-persoalan ini. Apakah ini artinya perlu diterbitkan ketentuan terpisah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut?

 

Ketiga, Pasal 2 Pepres 63/2019 mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam pasal yang sama dinyatakan bahwa bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang sesuai dengan konteks berbahasa, selaras dengan nilai sosial masyarakat dan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Perpres 63/2019 mengamanatkan diterbitkannya Peraturan Menteri, dalam hal ini Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, untuk mengatur mengenai kaidah bahasa Indonesia. Hal ini menjadikan proses penerjemahan dokumen hukum, seperti perjanjian, semakin tidak mudah. Peran penerjemah menjadi sangat krusial karena ia bertanggung jawab dan harus berpedoman pada bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam melakukan penerjemahan perjanjian dari dan ke dalam bahasa Indonesia.

 

Sementara itu, bahasa hukum mempunyai berbagai karakter yang unik. Sebab, ia adalah bahasa untuk tujuan khusus, sehingga tidak selalu dapat memenuhi kaidah bahasa yang baik dan benar. Selain itu istilah-istilah hukum umumnya bersifat polisemi, sehingga harus didefinisikan atau diartikan sesuai konteks untuk menghindari kesalahan dan kesalahpahaman (Heikki E.S. Mattilla, 2006). Apakah jika perjanjian-perjanjian tersebut dinilai tidak memenuhi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, lantas artinya dapat dimintakan pembatalan terhadapnya? Apakah penerjemah, dalam hal ini, kemudian menjadi turut bertanggung jawab secara hukum?

 

Keempat, perhatian perlu diarahkan pada kontrak-kontrak elektronik yang marak dilakukan seiring dengan meningkatnya transaksi elektronik. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 82/2012), kontrak elektronik yang ditujukan kepada penduduk Indonesia, harus dibuat dalam bahasa Indonesia.

 

Dengan mengingat hierarkhi ketentuan perundang-undangan, ini artinya ketentuan Pasal 26 Perpres 63/2019 tidak mengikat kontrak-kontrak elektronik karena kedudukannya lebih rendah dibanding PP 82/2012. Terhadap kontrak-kontrak elektronik, yang ditujukan kepada penduduk Indonesia, tidak dimungkinkan para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bahasa yang berlaku untuk dan mengikat kontrak mereka. Begitu pula terhadap perjanjian kerja, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan, yang harus ditulis dalam bahasa Indonesia dan apabila ditulis dalam dua bahasa, maka bahasa Indonesia yang dinyatakan berlaku.

 

Apakah penyusunan Perpres 63/2019 ini tidak sempat memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang telah lebih dahulu ada dan mengatur pula mengenai bahasa dalam perjanjian? Apakah ini artinya juga penyusunan Perpres 63/2019 ini tidak menjalankan proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan?

 

Kelima, Pasal 42 Perpres 63/2019 mengatur mengenai tugas Pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Apabila suatu saat salah satu pihak dalam perjanjian merasa dirugikan atas penggunaan bahasa Indonesia yang tidak sesuai kaidah, apakah Pemerintah kemudian bertanggung jawab secara hukum karena tidak melakukan pengawasan sebagaimana diatur dalam Perpres 63/2019 ini?

Tags:

Berita Terkait